Sabtu, 09 Mei 2020

Margareta Astaman - Stalking Indonesia





Margareta Astaman - Stalking Indonesia. Sebenernya, yang banyak pencarian di google tuh kata kunci resensi buku. Tapi aku nggak mau bikin resensi buku, soalnya kok kayak terlalu baku ya kalau resensi buku tuh. Jadi ini aku buat semacam review, tapi ya bukan review. Aku nyebutnya PAPABUKABUKU. Semacam kayak merangkum hal-hal baik yang kutemukan di buku. Jadi, niatnya membantu orang yang mau baca buku tapi nggak punya waktu lebih buat menyelesaikan membacanya. Dengan cara menghadirkan kutipan yang kuanggap baik dari buku karangan Margareta Astaman yang berjudul Stalking Indonesia ini. Sekali lagi, jadi ini bukan Resensi Buku Stalking Indonesia karangan Margareta Astaman, tapi ini PAPABUKABUKU. Oke, let's check it Crooot!



Margareta Astaman - Stalking Indonesia

Judul Buku: Stalking Indonesia
Tahun Terbit: 2014
ISBN: 978-979-709-792-9
Tebal Buku: xii + 200 Halaman
Desain Sampul dan Ilustrasi: Christiana Subekti
Grafis isi: A Novi Rahmawanta

Sinopsis

PERINGATAN!

Mereka yang sedang mencari buku panduan bagaimana cara mencapai sebuah daerah tujuan wisata dan macam-macam atraksi yang bisa dinikmati di sana, harap cari buku lain! Ya, yang di sana itu! Termasuk yang ada tulisan LONELY PLANET!

Sebab, ini bukan buku yang cuman memberi inspirasi traveling. Ini adalah catatan seorang penggila jalan-jalan yang rasa ingin tahunya kelewat besar. Secara obsesif ia suka ngulik, ngintip, dan melacak seluk beluk setiap objek atau daerah tujuan wisata yang dikunjunginya. Akibatnya, semua infromasi--mulai dari yang sepele, yang penting, sampai yang lebay-lebay--tergali habis. Cita-cita hidupnya sederhana saja, pergi ke semua tempat berwisata di Tanah Air tercinta. Siapa mau ikut?

Karya terbaru penulis muda yang sudah melahirkan buku-buku laris After Orchard, Excuse-Moi, dan Fresh Graduate Boss. Kali ini Magareta "Margie" Astaman berceloteh tentang pengalaman perjalanan wisatanya di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai seorang stalker sejati, Margie mengungkapkan aneka persoalan kepariwisataan Indonesia secara blak-blakan, apa adanya, dengan gaya ringan dan ceplas-ceplosnya yang khas.

Margareta Astaman - Stalking Indonesia

Margareta Astaman - Stalking Indonesia

Waktu bacain sinopsisnya, aku langsung yakin, ini bukan buku yang kucari-cari. Sebenernya aku lagi butuh membaca buku perjalanan yang ringan, lucu dan mudah dimengerti. Tapi bukan berarti buku karangan Margie ini nggak mudah dimengerti, nggak lucu dan terlalu berat ya, cuman aku merasa ini bukan buku yang mau ku baca. Hal tersebut terbukti ketika aku mulai bacain bukunya, sampai halaman 100 pun aku belum bisa menikmatinya. Bahkan aku nggak menemukan kutipan yang ku anggap baik dari buku ini. Rasa-rasanya gitu. Malah aku sempet selingin baca buku lain karena aku merasa ini kok membosankan banget bukunya ya. Ketika ganti buku bacaan, aku juga merasakan hal yang sama. Iya, sama-sama membosankan. Mungkin sekitar 1 atau 2 mingguan aku sama sekali nggak nyentuh buku, nggak ku lanjutin bacanya. Nggak suka aja tuh rasanya. Padahal udah sampai 100an halaman, yang artinya udah separuh buku selesai ku baca. Tinggal baca setengahnya lagi, kelar deh 1 buku ku baca semuanya.

Pengen rasanya ku skip skip bacanya, langsung bacain bagian akhirnya aja. Tapi rasanya nggak tega tuh, udah setengah jalan kok nyerah. Hingga akhirnya aku teringat story temen blogger yang tempo hari dia pernah bikin poling di Instagram yang bunyinya "Kalau kalian baca buku, terus nggak suka sama isinya kamu akan melakukan apa?" Pilihannya ada 2, berusaha menyelesaikan membaca bukunya atau ganti buku bacaan lain. Jelas dong aku pilihnya yang ganti buku bacaan lain. Tapi dari hasil poling temen blogger itu, hasil poling yang lebih banyak adalah memilih untuk berusaha menyelesaikan membaca bukunya. Aku terkejut dong, polingnya kalah. Nah, karena hal tersebut, aku jadi tertantang buat menyelesaikan membaca buku karangan Margie ini. Dan ternyata setelah beberapa halaman melewati halaman 100, keasyikan baca buku ini mulai muncul. Jadi, buku Stalking Indonesia karangan Margie ini justru berkali-kali lipat sangat jauh lebih menarik pada halaman di atas 100. Jadi, tahan-tahanlah baca sampai halaman 100, maka setelahnya akan merasakan keseruannya.

Isi Buku

  1. Ketika Stalker Jalan-Jalan
  2. Mengingat Indonesia
  3. The National Battle of Beach Resort
  4. Selamat Datang di Kawasan Wisata Mistis Indonesia!
  5. Lajukang dan Mi Goreng Rebus (Ini lucu sih seriusan, tapi ya miris juga)
  6. Antara Karimunjawa, Bulu Babi dan Antimo
  7. Kebersihan Sebagian dari Iman
  8. Indonesia vs Indonesia
  9. Scam City
  10. "Tuh, Lumba-Lumba"
  11. Yang Bikin Jalan-Jalan Jadi Enak
  12. Alon-Alon Asal...
  13. Life Ends at 90s
  14. Apa itu Duren?
  15. Sal-tum
  16. Bali, Trully Indonesia
  17. (Agar) Berenang-renang (dan sampai) ke Tepian
  18. Jogjakarta
  19. Falling in Love with My Life (Lewat Solo)
  20. Anak Kota Masuk Desa
  21. Balada Bimbo
  22. Koper Melawan Ransel
  23. Saya Lihat, Saya Datang, Saya Pegang
  24. Pulang
Gila nggak tuh Margie? 200 halaman tapi bisa bikin ada 24 bagian yang bisa dibaca secara terpisah. Walaupun kalau dibaca keseluruhan isi buku, ceritanya bakalan nyambung. Jadi, tadi di atas aku sempet bilang kalau bagian awal buku ini nggak sesuai dengan ekspektasi sesuatu yang pengen ku baca. Bukan berarti bukunya jelek dan nggak menarik ya, cuman lebih ke arah kepuasan akan haus informasi yang belum terobati. Ibarat kata, walaupun udah minum, tapi masih haus. Buktinya di Bagian 5, tentang Lajukang dan Mi Goreng Rebus, aku masih inget apa yang melatar belakangi judul bagian tersebut dibuat. Soalnya, di daerah yang namanya Lajukang, Margie beli mie goreng tapi dibikininnya mie rebus. Lucu sih emang, tapi ada kemirisan dibalik itu semua. Jadi, bukan berarti buku Margie nggak bagus ya, itu di halaman dibawah 100 aja aku bisa menemukan hal yang kuanggap masih bisa ku ingat sampai setelah selesai membaca bukunya. Eh maaf nih sedikit spoiler, daripada spoilernya semakin banyak, mendingan kita ganti paragraf aja ya!

Solonesia

Resensi Buku Margareta Astaman - Stalking Indonesia

"Kok bisa sih, dua teman orang Solo tidak menceritakan ini semua pada gue dengan rasa bangga?" Stalking Indonesia Halaman 148

Ini sih, ini bagian pertama yang bikin aku langsung suka sama buku karangan Margie ini. Ceritanya Margie lagi traveling ke Solo untuk pertama kali dalam hidupnya. Dan dia terheran-heran sama apa yang ada di Solo. FYI, sedari yang ku baca Margie tinggalnya di Jakarta. Mungkin buat kita yang tinggal deket-deket Solo atau mungkin udah bolak-balik ke Solo, ya Solo ya gitu aja. Kayak kutipan yang ku ambil dari buku Margie di atas. Banyak orang lain yang tergila-gila dengan apa yang mungkin buat kita adalah sesuatu yang biasa aja. Tapi, nggak selamanya begitu. Solo tuh salah satu tempat yang udah pernah ku datengin nggak cuman sekali doang, tapi rasanya pengen balik lagi ke Solo. Karena di Solo tuh ada banyak banget hal-hal yang nggak ada di tempat tinggal ku. Pun dulu waktu tinggal di Semarang. Jadi, Solo tuh selalu punya hal-hal yang menurut ku keren yang bikin kangen. Jadi nggak salah kalau Margie nulis sebegitu menakjubkannya Solo di bukunya. Aku setuju banget. 

Resensi Buku Margareta Astaman - Stalking Indonesia

"Mungkin karena kami tingal di sini, jadi semuanya terlihat biasa saja, karena sudah jadi pemandangan sehari-hari" Stalking Indonesia Halaman 149

Naaah... klimaksnya di sini, Solo bagi Margie pun bagi ku juga, buka suatu hal yang "menjadi milikku". Margie tinggal di Jakarta, sementara aku tinggal di Pekalongan. Kalau ke Solo, ke Pasar Klewer, banyak banget tanggepan orang-orang yang mereka tuh bilang "Enak ya tinggal di Pekalongan, ini jeans dagangan saya asalnya dari Pekalongan. Kalau saya tinggal di Pekalongan mungkin saya jadi juragan jeans". Oh shit men! Aku yang selama ini selalu mengutuki Pekalongan karena nggak ada ini itu, yang notabene downgrade dibanding Semarang yang merupakan tempat tinggal ku sebelumnya. Tapi ternyata di Solo ada orang yang mendambakan Pekalongan. Sebenernya kita sama, sama-sama nggak mendambakan apa yang menjadi milik kita. Orang Solo mendambakan Pekalongan dan bermimpi bisa jadi juragan jeans. Orang Pekalongan mendambakan Solo dan bermimpi bisa makan murah dengan suasanya yang modern tapi klasik elegan. 

Kayaknya dilema manusia emang gitu deh ya, nggak bisa dirubah. Yang bisa dirubah cuman cara pandang kita aja kayaknya. Masih tetap mau mengutuki hal-hal yang kita benci tapi ternyata didambakan orang lain. Dan mendambakan milik orang lain tapi ternyata hal tersebut dibenci oleh yang punya. Ah semuanya punya pilihan masing-masing. Jadi, buat kamu yang masih nggak bisa menerima kebaikan dari apa yang kamu miliki sekarang, kamu cocok banget bacain Stalking Indonesia karya Margareta Astaman ini. Terlepas dari semua itu, yang jelas aku pengen lihat wayang orang di Solo. Aku belum pernah lihat sekalipun soalnya :( Yok yok, ada yang mau?

Cara Menghilangkan Ketakutan

Resensi Buku Margareta Astaman - Stalking Indonesia

"People are afraid to get hurt. Tapi terluka adalah menjadi satu-satunya cara untuk menghilangkan ketakutan itu" Stalking Indonesia Halaman 168

Aku setuju banget sih sama kutipan dari buku Margie di atas. Dulu, setelah ditinggal nikah sama mantan, aku jadi pribadi yang menganggap punya pacar adalah sesuatu nggak penting yang buang-buang waktu. Lalu menyebabkan ketika aku suka sama seseorang, kemudian aku mengambil langkah untuk nggak menjadikannya sebagai pacar. Karena traumatis masa lalu ya. Alay sih emang, tapi buat kamu yang don juan, mungkin itu suatu yang biasa aja. Patah hati tuh rasanya nggak enak banget. Apalagi buat memulai sesuatu yang baru pasti rasanya susah banget. Hingga akhirnya aku suka sama seseorang, deket sama seseorang dan memilih untuk enggak mengajak dia untuk berpacaran. Karena pengalaman pahit ku ketika berpacaran dengan orang sebelumnya.

Naaah... ini gunanya hidup. Kita akan terus belajar, yang hari ini kita anggap tai, besok bisa jadi pizza. Yang sekarang pizza, besok bisa jadi tai. Pun begitu juga dengan aku milih untuk deket sama satu orang yang bukan pacar, kemudian malah menimbulkan masalah yang lebih besar dibanding punya pacar, terus patah hati. Karena baper sama orang yang bukan pacar lebih menyesakkan hati ketimbang ditinggal nikah. Yang mungkin kemudian membuat semuanya jadi berantakan dan tak terkendali. Atau ibaratnya membuat benang lurus menjadi kusut. Mau mutusin nggak bisa, soalnya bukan pacar. Setelah ku pikir-pikir, beda cerita kalau sama pacar, kusut, tinggal putusin aja, beres kan?

Akhirnya aku milih untuk melawan ketakutan ku itu. Tiga atau Empat tahun nggak punya pacar, satu tahun suka sama orang tapi nggak pacaran dan sekarang aku memilih melawan rasa takut ku dengan mencoba kembali memiliki hubungan spesial dengan orang lain. Nggak, aku nggak jadi homo kok. Masih tetep suka sama cewek. Dan ternyata sejauh ini nggak seburuk ketakutan akan luka yang selama ini menghantui ku. Lebih enak punya pacar daripada suka tapi nggak pacaran. Jadi, apa yang ditulis sama Margie di bukunya dan kemudian ku kutip, ternyata ada benernya. Aku udah mengalaminya. Naaah, kenapa Margie nulis itu, aku nggak mau spoiler, kamu yang mau tau kenapa, beli aja Stalking Indonesia karangan Margareta Astaman.

Semua Dihitung dengan Uang

Reseni Buku Stalking Indonesia karya Margareta Astaman

"Semua yang ada di sini kerja, mungkin dengan gaji yang minim dan jam kerja yang panjang. Wajar saja tidak ada yang mau melakukan extra miles. Semua usaha dihitung dengan uang" Stalking Indonesia Halaman 177

Pengertian extra miles adalah melakukan usaha khusus untuk melakukan atau mencapai sesuatu. Zaman sekarang, sudah amat jarang sekali kita jumpai hal tersebut. Adanya, melakukan sesuatu jika ada "sesuatunya". Jamak sekali, zaman sekarang menilai atau mengerjakan sesuatu dinilai dari uangnya. Kalau ada uangnya kerjain, kalau nggak ada uanganya, ngapain harus capek-capek berkorban. Apalagi di daerah tempat wisata, seakan-akan hal tersebut sudah menjadi hal yang lumrah. Tapi nggak semuanya demikian kok. Buktinya aku masih menemukan tempat wisata yang ramah wisatawan karena tidak palak wisata. Tapi bukan berarti sedikit juga tempat wisata yang palak wisata ya. Seperti yang sudah ku tulis tadi, hal tersebut merupakan sesuatu yang sudah dianggap lumrah. Jadi menurut sepengalaman ku, jumlahnya cukup banyak. 

Pun tinggal di kota ataupun tinggal di desa, ada aja hal-hal yang berbau demikian. Tapi menurut ku, masih lebih baik di desa sih. Karena ternyata aku masih menemukan orang-orang yang memiliki jiwa kesukarelawanan yang tinggi. Orang yang rela berkorban melakukan sesuatu; entah dia tau, ada atau enggak ada duitnya, yang penting bermanfaat untuk orang banyak. Di desa tempat aku tinggal sekarang, aku masih dapat menyaksikannya langsung dengan mata kepala ku sendiri. Kalau di kota besar mungkin masih ada, tapi pengalaman terakhir yang ku ingat, mengatakan sebaliknya. Jadi, tempat-tempat yang belum tercemar akan hal tersebut, menurut ku sudah selayaknya untuk dilestarikan. Soalnya tindakan itu, menurut ku merupakan salah satu aset penting bangsa Indonesia yang patut dipertahankan, kesukarelawanan dan keramahannya.

Lantas, apakah kamu rela melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak tapi nggak dibayar?

Kalau jawabannya enggak rela, aku rasa kamu musti baca buku ini. Ya... walaupun nggak akan merubah pandangan mu secara instan sih. Tapi kata-kata yang dikeluarkan Margie melalui bukunya, akan menjadi asupan yang sangat baik untuk mu. Sebenernya kalau pun jawab nggak rela, itu adalah sebuah kewajaran yang mayoritas. Tapi kalau dalam segala hal berlaku demikian, mungkin itu sudah masuk kategori yang keterlaluan. Andaikata semua orang masih mau melakukan sesuatu secara sukarela, minimal hal-hal yang dikuasainya, mungkin Indonesia akan kembali menjadi macan asia lagi.

Oh ya, kalau kamu mau melakukan suatu hal yang bersifat sukarela dan menurut mu akan bermanfaat bagi orang banyak. Tapi kamu nggak menemukan rekan berbicara ataupun rekan bergerak yang tepat, kolom komentar di bawah mungkin bisa menjadi jawabannya. Atau pergi ke bagian kontak di halaman blog ini, mungkin kontak yang ku pasang di sana bisa meringankan beban mu. Atau mungkin malah kita bisa berkolaborasi melakukan suatu kesukarelawanan yang akan berdampak baik bagi orang banyak.

Pengalaman Menonton TV?

Reseni Buku karya Margareta Astaman - Stalking Indonesia

"Orang merasa tak perlu pergi langsung karena ada media yang membagikan pengalaman milik orang lain untuk dimiliki oleh penontonnya. Tapi pengalaman yang dimiliki seorang penonton adalah menonton TV, bukan bepergian"

Seperti yang udah ku tulis di atas, pada bagian Cara Menghilangkan Ketakutan, apa yang ditulis Margie yang kutipannya ku sertakan di atas, seakan menampar pipi ku keras-keras. Karena ketakutan yang ku alami, menyebabkan aku males berhubungan dengan yang namanya Traveling. Sejak saat itu, aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali mau melakukan perjalanan, pun sampai sekarang. Oleh karena itu, blog ini yang awalnya adalah blog traveling yang semua isinya adalah menceritakan perjalanan ku, berubah jadi blog acakadut yang isinya jadi semau ku. Salah satu penyebabnya adalah karena aku jadi males melakukan perjalanan. Walaupun ada faktor lain yang mendukungnya, tapi alasan yang utama adalah sungkan melakukan perjalanan lagi. Ya, semua karena patah hati. Tapi nyatanya hal pahit tersebut membuat blog ini jadi lebih berwarna. Kalau nggak ada patah hati, mungkin kalian nggak akan baca tulisan ini. Nah, kembali ke kutipan di atas, setelah peristiwa patah hati itu, aku jadi skeptis sama yang namanya melakukan perjalanan. Berasa nggak ada effort yang mendukung untuk aku melakukan perjalanan lagi. Aku jadi lebih suka menikmati perjalanan hanya melalui layar pc, smartphone atau melalui TV. Persis, sama apa yang ditulis Margie di bukunya.

Sejak baca kutipan tersebut, aku jadi mulai memikirkan untuk melakukan perjalanan lagi. Aku nggak cuman mau menambah pengalaman menonotn tv ku doang. Mata sama otak ku harus dimanjakan dengan hal-hal Indah yang dulu selalu ku koar-koarin biar nggak pada main di mall aja. Pantat ku harus dilatih dicambuk-cambuk jok motor, beradu dengan debu jalanan dan menggilas aspal jelek yang lumrah ada di tempat wisata. Ah aku kangen bepergian. Margieeeeeeee.... Terimakasih! Buku mu mengembalikan semangat ku!!!!!

Oh iya, aku jadi teringat kalau selama aku menyandang jabatan sebagai Mas Duta Wisata Kabupaten Pekalongan, aku merasa belum melakukan tugas ku dengan baik. Jadi, apa aku harus mulai dari yang deket-deket aja? Kayaknya itu yang lebih realistis sih ya. Jadi, tunggu aja nanti aku mau kemana. Selagi aku belum kemana-mana, kamu bisa bacain cerita lain tentang kemana-mana yang ada di blog ini ya. Siapa tau menginspirasi mu untuk mendatangi tempat tersebut. Jadi, kapan mau mencari pengalaman bepergian? Jangan pengalaman menonton TV terus dooong!

Jadi, buku apa yang terakhir kamu baca? Kalau aku sih terakhir baca ini:

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Write comment

Back to Top