Senin, 06 Mei 2019

Drop Out From My University? No, I'm Out Duluan!






Secara resmi sih aku nggak di Drop Out (DO) dari kampus. Nggak ada surat atau keterangan baik tertulis ataupun lisan yang menyatakan bahwa aku dikeluarkan dengan cara tidak hormat dari kampus. Kalau orang tanya sih seringnya aku jawab OD (Out Duluan). Sebelum di DO, aku udah OD. Terus nyesel nggak ninggalin kuliah di tempat yang banyak orang mengidam-idamkanya? Kalau ada yang tanya gitu sih aku bakalan jawab...

Oh ya, ini lanjutan cerita dari tulisan ku yang sebelumnya. Buat yang belum baca, kalau mau baca sih bisa tuh. Tapi kalau enggak mau ya nggak apa wkwk. I know, who's me? Tapi, buat yang mau baca, ini ku kasih daftar lengkapnya:

BACA: Pindah 3 Kali dalam 1 Tahun
BACA: KKN Sepanjang Masa

Jijay yak? Ya gimana, namanya juga KKN sepanjang masa. Nggak kayak KKN haha hihi fota foto doang wkwkwk
Oh ya, sebelumnya aku mau kasih peringatan dulu buat kalian yang lagi baca. Tulisan ini bakalan sangat panjang banget. Kalau kamu nggak punya banyak waktu atau keingin tahuan yang super tinggi tentang kenapa aku memutuskan untuk keluar dari kampus, baca mu cukup sampai di sini aja. Tutup browser mu. Lalu, lanjutkan pekerjaan mu yang lebih penting ketimbang bacain curhatan ku yang nggak jelas ini. Terimakasih 😁 Sampai jumpa lagi di tulisan ku yang lebih penting dan lebih bermanfaat dari pada ini.

Jadi, dulu aku pernah kuliah di salah satu Universitas Negeri yang ada di Kota Semarang. Kalau boleh disebut, nama kampusnya adalah Universitas Diponegoro (UNDIP). Waktu itu aku keterima di jurusan S1-Peternakan lewat jalur undangan. Intinya sih, yang nggak ada tesnya itu loh, aku nggak ngerti sekarang namanya apa. Intinya gitu, aku masuk Undip nggak pake tes-tesan, ngasih nilai rapot terus masuk deh. Bisa kuliah di Undip dengan cara semudah itu. Intinya sih gitu.

Berjalannya waktu, banyak hal yang terjadi dalam hidup ku. Cerita yang Tuhan gariskan buat ku adalah sebuah cerita yang nggak biasa. Karena, biasanya orang tuh kalau udah kuliah, apalagi di kampus yang cukup punya nama, mau nggak mau ya harus lulus dan harus punya ijazah. Ntah setelah lulus, beneran punya ilmunya atau nanti ilmunya kepake apa enggak, nggak penting itu. Yang penting bisa lulus dan kemudian punya ijazah buat ngelamar kerja. Gitu sih biasanya kebanyakan orang. Tapi, enggak dengan jalan hidup ku ini. Makanya, cerita hidup ku ini menurut ku cerita yang nggak biasa. Jalan yang ku ambil udah ku tulisin sedikit di Pindah 3 Kali dalam 1 Tahun yaitu aku milih untuk "Ya, aku mau ke Pekalongan aja. Bantu-bantu di sana". Kalau nggak salah inget sih, aku memutuskan hal tersebut waktu tahun 2016. Harusnya di tahun itu aku wisuda. Tapi enggak tuh, aku nggak milih jalan itu. Aku milih buat nggak melanjutkan kuliah. Aku milih buat nggak menyelesaikan kuliah ku. Aku nggak Drop Out dari kampus, tapi aku Out Duluan. Maksudnya, kampus nggak pernah mengeluarkan apapun yang berfungsi untuk memecat atau mengeluarkan aku dari kampus. Malah sebenernya aku nunggu surat atau keterangan resmi dari kampus yang menyatakan kalau aku di keluarkan. Mau ku pajang cuy. Kalau temen-temen ku majang ijazah, aku mau majang surat DO wkwkwk.

Aku mau cerita sedikit tentang kenapa aku mengambil jalan itu. Ada banyak alasan sih sebenernya. Kadang kalau ditanyain orang, "Kenapa kok kuliahnya nggak dilanjutin? Kenapa kok nggak diselsaiin kuliahnya? Apa nggak eman-eman keluar gitu doang? Kan udah mau selesai?". Kadang aku males jawabnya, karena panjang banget ceritanya. Soalnya, aku punya banyak alasan kuat yang melatar belakangi jalan OD yang ku ambil ini. Nah, aku rasa ini saat yang tepat buat ku kemukakan semua alasan yang mendasari pilihan untuk OD dari kampus. Biar kalau ada yang tanya, ntar aku bisa jawab "Aku udah pernah tulis semua alesan kenapa aku milih buat enggak ngelanjutin kuliah di blog ku. Kalau kamu pengen tau banget, baca aja di blog ku, udah ku tulis lengkap. Kalau cuman pengen tau doang dan nggak ada tujuan yang jelas selain pengen tau. Aku bakal cuman kasih jawaban kalau aku nggak cocok sama sistemnya". Jadi, inilah alasan kenapa aku milih buat OD:

Kasih foto cewek cantik dulu, biar semangat bacanya. Jangan tanya ini siapa wkwk

Sama Aja


Waktu pertama kali keterima di Undip. Aku langsung merasa jalan hidup ku bakalan terang. Soalnya aku bakalan kuliah di kampus yang diidam-idamkan banyak orang. Bangga dong pasti. Ketika banyak orang yang gagal masuk ke kampus itu, aku dengan mudahnya bisa masuk. Aku auto merasa "Oh ternyata aku nggak goblok-goblok amat ya". Masuk ke Undip, yang punya nama besar, yang punya reputasi besar, yang banyak orang menyesal ketika nggak masuk ke sana, yang banyak melahirkan orang-orang besar darinya. Maka dari itu, aku udah ngerasa kalau semuanya akan berjalan dengan sempurna.

Tapi ternyata enggak cuy. Nama besar kampus nggak serta merta membuat mahasiswanya juga jadi besar juga. Maksudnya besar dalam arti kiasan, yang aku gambarin dengan keadaan yang serba baik. Semacam orang-orangnya pinter, baik, jujur yaaah... aku menggambarkan mahasiwa yang kuliah di kampus ini adalah mahasiswa yang datang dengan banyak kelebihannya. Bayangan ku kayak gitu ya. Tapi ternyata enggak. Semuanya sama aja. Nggak se "wah" yang orang-orang bicarakan. Nggak sebagus yang orang-orang agungkan. Nggak semenarik yang orang-orang bagikan lewat cerita-ceritanya.

Sama aja kok, di kampus banyak yang titip absen waktu kuliah, yang waktu pelajaran malah ngegame, yang nyontek waktu ujian, yang searching waktu ujian, yang bawa catatan kecil-kecil waktu ujian, yang bikin laporan copy paste doang, nggak bisa dikatakan sedikit jumlahnya. Sama kok, sama aja kayak kampus lainnya yang enggak banyak orang bangga-banggain. Aslinya, waktu di kelas pas pelajaran, banyak kok mahasiswa yang nggak paham sama apa yang dosen omongin. Yang nggak ngerti dia diajarin apaan. Yang masa bodo sama apa yang diomongin dosen. Makanya, mereka pada titip absen, pada nyontek, pada curang deh intinya. Kalau dilihat dari sisi ini, kampus itu emang terlihat nggak bagus. Tapi, ya emang dari sisi itu yang aku lihat dan dari sisi itu pula yang melatar belakangi timbulnya rasa kesal terhadap proses yang sedang ku jalanin. Intinya sih, mau kuliah di kampus yang dianggap keren atau di mana aja, ku rasa bakalan sama aja kok.

Mau sebagus apapun kampusnya, nggak serta merta akan membuat mahasiswanya jadi pintar. Nggak serta merta kampus yang dianggap bagus bisa membuat mahasiswanya nggak hobi nyontek. Kampus bagus pun masih kewalahan ngadepin mahasiswa yang sering titip absen.

Mana yang tukang mungut? Sini kemplang aja palanya
Banyak Pungutan

Kuliah ku waktu itu bayarnya 1,5 juta. Dengan rincian 750 ribu buat perkuliahan dan 750 ribu buat praktikum yang tercantum dalam lembar resmi yang berlogo kampus dan ditandatangani oleh pimpinan kampus. Tapi ternyata enggak cuy. That's bulshit. Pada kenyataannya, ketika praktikum di lab masih aja tuh dimintain duit buat ganti ini itu yang dipake waktu praktikum. Kalau aku suruh buktiin, jelas aku nggak punya bukti fisiknya. Tapi jelas banget kalau ingatan ku masih merekam itu. Kalau toh memang harus bayar lagi waktu praktikum, ya nggak masalah sih menurut ku. Tapi kenapa dulu aku dikasih rincian 750 buat biaya praktikum, sementara waktu praktikum masih dimintain duit lagi? Kampus yang dianggap baik dan memiliki reputasi bagus pun ternyata ada praktek seperti itunya ya. Aku baru tau dan baru mengalami sendiri. Kejadiannya nggak sekali dua kali, berkali-kali malahan. Puncaknya, waktu itu disuruh beli hewan. Agak mahal pokoknya harganya. Kalau nggak beli, ya nggak boleh ikutan praktikum. Karena udah saking keselnya dengan bualan 750 ribu untuk biaya praktikum tapi ternyata masih bayar lagi, aku memutuskan untuk nggak ikutan beli hewan yang disuruh itu. Sejak saat itu, atensi ku terhadap kampus dan proses belajar mengajar serta praktikumnya, langsung nggak ada. Aku udah langsung males banget. Udah nggak peduli sama sekali.

Lingkungan Pertemanannya

Kebanyakan mahasiswa yang kuliah di sana nggak cuman dari Semarang doang. Apalagi di kelas ku yang notabene adalah kelas yang kebanyakan diisi oleh mahasiswa yang mendapatkan beasiswa. Orang-orang pinter semua isinya (harusnya). Mungkin aku doang yang nggak pinter, makanya nggak lulus kan wkwkwk. Kebanyakan pula dari mereka berasal dari daerah yang berada di luar Kota Semarang. Aku nggak ngerti, aku yang mengalami culture shock atau teman-teman ku yang mengalami hal tersebut. Tapi, aku merasa lingkungan pertemanan di sana nggak bagus. Yang ada di otak ku dan yang aku inget ketika membicarakan ini, adalah situasi-situasi yang kayak gini:

Dulu belum zaman Whatsapp, Line, Telegram. Waktu itu adanya BBM di hp Blackberry (BB) doang, belum ada di Android. Karena hal tersebut di paragraf atas, makanya nggak banyak mahasiswa di kelas yang pakai BB. Aku pun waktu itu nggak pake. Hp ku hp jadul yang cuman bisa buat sms sama telpon doang, ya sewajarnya hp kalangan menengah yang nggak BB pada zaman itu lah. Udah bisa buat internetan sih, tapi internet belum semasif sekarang. Intinya, komunikasi zaman itu masih mengandalakan SMS dan yang lebih advance palingan, cuman pengumuman di grup facebook. 

Jadi, komunikasi antar mahasiswa biasanya cuman lewat SMS dan grup facebook. Awalnya semuanya berjalan baik-baik aja dan lancar-lancar aja. Karena pengumuman yang disebar lewar SMS masih sedikit. Jadi yang kebagian tugas buat SMSin mahasiswa yang lainnya pun, mungkin nggak ngerasa keberatan karena pulsanya nggak banyak berkurang. Tapi semakin lama, pengumuman semakin banyak. Orang yang ditugasin ngeSMSin temen lainya mulai bertingkah. Banyak yang nggak dapet pengumuman atau informasi penting karena informasinya berhenti di dia dan nggak disebarin lagi. Mulailah muncul alasan "Aku nggak punya pulsa". Padahal, dulu ada yang namanya kas kelas. Jadi, ada sebagian duit kas yang digunakan buat gantiin pulsa ke anak yang ditugasin buat nyebar informasi atau pengumuman yang ada. Tapi waktu itu banyak anak yang kebagian tugas tersebut malah menolak tawaran penggantian pulsa dari duit kas kelas. Maka dari itu, sistem penyebaran informasi atau yang dulu biasa disebut JARKOM tetap direncanakan berjalan sebagaimana rencana awal. Ku kira masalah udah selesai. Ternyata enggak...

Sama aja kok, aku jadi orang kampung aja deh. Biar kamu yang ke kota. Btw, fotonya pinjem https://jejakbocahilang.wordpress.com
Asal kalian tau, jadwal kuliah, praktikum dan lain-lainnya di kampus nggak selalu dan selamanya tetap. Kadang ada sesuatu dadakan yang harus diaksanakan dalam waktu yang sangat mendesak. Contoh, harus masuk jam 11 buat pergantian jam kuliah yang sebelumnya kosong, tapi baru ada pengumuman masuk lewat sms di jam 10.45 wib. Kalau yang kosannya deket kampus mah enak ya. Nah aku, butuh 30 menit paling cepat buat sampai kampus dari rumah. Itupun nggak pakai mandi atau makan dulu mungkin di rumah. Otomatis aku nggak bisa mengikuti agenda perkulian yang modelnya kayak gitu dong. Itu sih mending pas ada pengumuman tapi telat, kadang kala malah nggak ada pengumuman sama sekali. Tapi yang dapet pengumuman langsung dari dosen, beserta teman-teman dekatnya, bisa tau kalau ada kelas pengganti. Terus dia beserta gerombolannya bisa masuk kelas pengganti yang dadakan itu. Aku nggak ngerti pola pikir mereka itu kayak gimana. Kayak mau menang sendiri gitu loh. Kayak mau nunjukin "Ini loh aku yang pinter, ini loh aku yang rajin". Hingga akhirnya, jaringan lain yang dapet info duluan pada bales dendam dengan cara nggak ngasih info ke yang bukan temen deketnya. Jujur aja, menurut ku kondisi di kelas waktu itu nggak bagus banget. Banyak yang mau dianggap pintar, rajin. Yah... banyak yang egois pokoknya deh. Pengen menang sendiri, pengen dianggap baik, pengen dianggap pintar, pengen dianggap rajin tapi ternyata fake. Hingga akhirnya aku sering dapet info tapi telat dan yaudah karena terlalu telat akhirnya aku sering nggak masuk kelas. Sering banget aku nggak masuk kelas gegara nggak dapet info tentang penggantian kelas yang mendadak itu. Dari sana, aku mulai menganggap kalau lingkungan pertemanannya nggak baik. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk nggak ambil mata kuliah yang mayoritas di kelas itu. Intinya, semacam pindah kelas sih.

Terus yang ku inget lagi adalah, banyak yang bangga ketika dapet nilai bagus.Ya wajar sebenernya ya kalau bangga karena dapet nilai bagus. Tapi karena aku tau kondisi di kelas, aku jadi menganggap bangganya itu basi. Wong di kelas yang diajar sama dosen nggak jelas, pada nggak paham kalau itu si dosen jelasin apaan. Yang jawab soal ujian pake nyontek, pake searching, nggak berangkat pake titip absen, terus dia bangga loh sama nilainya. Fake nggak sih? Kesel nggak sih? Yang aslinya sama-sama nggak paham dosen jelasin apaan, yang sama-sama nggak bisa jawab soal ujian. Bedanya yang nggak nyontek ya nggak bisa ngerjain soal ujian. Sementara yang nyontek jadi "terlihat" bisa. Yang kayak tai itu adalah dia bangga gitu loh, karena udah bisa ngerjain soal ujiannya. Walaupun hasil nyontek sih ya. Nngak ngerti aku, kesel jadinya. Ini juga berhubungan sama alesan Sama Aja di atas. Iklim pertemanannya nggak baik. Yang bikin aku jadi semakin males kuliah.

Sistem Perkuliahan

Nyambung paragraf di atas, sering banget dosen nggak dateng pas jadwal harusnya di ngajar. Terus ganti waktu sebisanya dia (Bagian ini belum jadi masalah sih buat ku, biasa aja masihan). Situasinya gini, hari ini aku berangkat kuliah, tapi ternyata dosennya nggak bisa dateng. Terus diskusilah dia sama mahasiswa yang bertanggung jawab di kelas itu, untuk menentukan kapan hari pengganti kelas yang kosong itu. (Bagian ini juga belum jadi masalah buat ku). Menurut ku itu solusi yang masih fair. Bagian yang nggak bisa ku tolelir adalah, ketika si dosen itu nggak masuk 2 atau lebih pertemuan terus digantinya cuman dalam 1 pertemuan. Contohnya, hari Senin minggu I, pelajaran A, dosen A1 nggak bisa dateng ngajar. Minggu II juga gitu situasinya. Masalahnya minggu I dan minggu ke II aku dateng ke kelas, sesuai jadwal ya. Eh habis itu si dosen minta jam pengganti di hari yang kosong, biasanya hari kosong kan Sabtu ya (Kalau belum waktu praktikum). Maka diambillah hari Sabtu itu. Yang jadi masalah adalah di menggabungkan 2 pertemuan yang harusnya 2 kali jadi 1 kali pertemuan doang. Otomatis, 1 pertemuan itu absen masuknya jadi 2 kali. Ini yang aku kurang suka. Kasihan loh yang minggu I dan II berangkat tapi si dosen malah yang nggak berangkat. Lalu di ganti di hari yang bukan jadwalnya kuliah, terus ada yang nggak bisa dateng. Otomatis dia kehilangan 2 absen, padalah aslinya minggu I sama minggu II dia berangkat. Kayak tai nggak sih? Masalahnya, yang nggak bisa berangkat di hari itu absennya jadi bolong 2 kan ya? Masalahnya lagi, aku sering kayak gitu cuy. Sistem kayak gitu bagus nggak sih menurut mu? Nggak kan? Makanya, aku benci sama yang kayak gitu. Itu masalah absen...

Ini kalau temen kampusnya begini mah, BETAH!
Di kampus, selalu diajarkan yang namanya "wirausaha". Banyak dosen yang menekankan pada para mahasiswanya untuk menjadi wirausahawan ketika sudah lulus nanti. Karena jurusannya peternakan, ya mau nggak mau nanti wirausahnya di bidang peternakan dong ya? Ya emang bisa sih, nggak usaha di bidang peternakan. Cuman masalahnya ini adalah kampus jurusannya peternakan, kalau ditekan kan oleh pihak kampus untuk menjadi wirausaha tapi nggak di bidang peternakan, lalu apa fungsinya kuliah peternakan cuy?

Dulu waktu aku kuliah, ada banyak dosen yang masuk kategori tua dan masih ngajar. Uniknya, ngajarnya nggak pake LCD Proyektor tapi pake OHP. Jadinya kayak main wayang cuy. Jadi si dosen punya catetan di kertas. Dimana itu adalah tulisan dia yang nggak semua mahasiswanya pada bisa baca tulisan itu si dosen. Tulisannya yang jelek itu terus disorot kayak semacam lampu yang diarahin ke tembok hingga bisa mentranformasikan tulisan di kertas yang sekecil itu, ke dalam sebuah layar yang lebih besar. Mirip sih kayak pake LCD Proyektor. Tapi jadinya kayak wayang-wayangan. Karena tulisannya nggak bisa dibaca, dan suara pelan si dosen nggak bisa memenuhi seluruh ruangan. Jadi ya kayak wayangan gitu, dia ngomong apa, kita nggak pada ngerti, udah mana tulisannya begitu kan ya. Ya mungkin ada satu dua yang bisa dipahami, tapi kebanyakan sih enggak. Dan mayoritas mahasiswanya nggak pada ngerti apa yang diomongin itu dosen. Resenya di sini, itu dosen kenapa nggak mau belajar komputer? Padahal mahasiswanya dituntut ini itu segala macem, sementara dosennya masih dengan pemahaman lama yang dia kuasai. Yang lebih resenya lagi, itu di kelas si dosen jelasin apaan, tapi ntar waktu ujian yang keluar apaan, beda banget dari apa yang dibagiin di kelas. Kesel nggak sih? Kampus yang namanya beken di luar tapi ternyata kayak gitu kondisinya. Nggak singkron sama nama besarnya. Aku jadi ngerasa kuliah bukannya nambah pinter tapi jadi makin bego. Atau emang dasarnya bego, aku nggak ngerti. Yang jelas, situasi se rese itu, ditambah waktu ujian pada nyontek. Is it fair? Saat itu aku langsung mikir, "Aku nggak bisa nih berkompetisi dengan orang-orang yang seperti itu". Yang di kelas nggak ngerti dosen ngajar apaan, yang baca soal ujian nggak ngerti mau jawab apaan. Sama aslinya aku juga kayak gitu. Tapi, banyak yang nyontek cuy. Yang aslinya nggak ngerti, aslinya nggak bisa, sama-sama nggak ngerti, sama-sama nggak bisa, karena nyontek, mereka jadi bisa. Bisanya itu bukan karena proses pembelajaran yang berhasil, tapi karena nyontek. Jadi, salah nggak sih kalau aku benci sama kampus?

Duit

Dulu, orang tua ku, tanpa aku minta sesuatu, tapi mereka tau kalau aku pengen sesuatu. Sekali lagi aku tekankan, tanpa aku minta, besoknya udah ada itu yang ku pengenin. Sebegitu punya duitnya orang tua ku. Pengen lihat anaknya seneng dengan memberi apa yang dipengen sama anaknya. Apalagi kalau aku lagi minta sesuatu. Nggak lama, pasti langsung orang tua ku menyanggupinya. Yang aku inget banget, waktu itu aku sering lihat temen ku ikutan lomba foto. Sering banget pokoknya. Terus kalau ditanyain pas mau main, aku selalu bilang "Mau lihat Anjas lomba foto". Entah kenapa saat itu aku jadi mulai menyukai fotografi. Padahal aku nggak punya alatnya. Ya jujur aja, aku pengen punya kamera dong ya, karena tetiba jadi suka fotografi kan. Tapi aku nggak pernah bilang sama orang tua ku, karena ku tau, itu harganya mahal banget dan nggak mungkin orang tua ku mau ngasih itu secara cuma-cuma ke aku. Emang dasarnya insting orang tua itu kuat kali ya. Nggak lama setelah aku selesai ujian nasional, tetiba orang tua ku bilang "Besok ke Jakarta ya, naik pesawat". Aku bingung dong ya, ngapain ke Jakarta naik pesawat, biasanya aja naik kereta kan, mentok naik mobil lah. Tau aku bingung nggak bisa jawab, orang tua ku langsung bilang "Katanya pengen naik pesawat? Sekalian beli kamera, ntar biar dipilihin sama om mu". FYI, waktu itu aku sama sekali belum pernah naik pesawat dan emang lagi pengen punya kamera. Tapi akau nggak pernah bilang ke orang tua ku. Sama sekali. Aku nggak pernah minta ke mereka. Tapi nggak ngerti, tetiba mereka ajakin aku naik pesawat dan beli kamera. Segambling itu lah orang tua ku. Seroyal itu buang duit buat aku dan anak-anaknya yang lain.

Tapi, cerita indah kayak gitu nggak selamanya kekal. Suatu ketika karena semakin sering mainin kamera pemberian orang tua ku, aku mulai mempelajarinya. Waktu itu ada satu aksesoris kamera yang pengen ku beli. Harganya sekitar 1/10 kali lipat dibanding harga kamera. Dilihat dari harganya, itu perkara mudah buat orang tua ku beliin yang ku mau kan ya? Tapi waktu itu aku jadi bingung, "Kok tumben ini ya, aku pengen sesuatu tapi nggak langsung ada". Ku tunggu-tunggu, kok tumben nggak kayak biasanya. Hingga akhirnya, aku nggak sabar terus minta sama orang tua ku "Minta uang, mau buat beli flash kamera". Mereka bilang, ya, nanti ya, tunggu dulu, belum ada duitnya. Berkali-kali aku minta, jawabannya masih sama. Nah itu, aku mulai sadar, dari yang dulu awalnya tanpa aku minta pun langsung dikasih, sampai saat ini aku yang minta berkali-kali, tapi tetep nggak dikasih. Ini masalah duit yang ku maksud. Terlebih, waktu itu adek ku juga kuliah ditempat yang sama aku kuliah. Tapi, dia lebih niat kuliah dibanding aku. Anehnya, bayar kuliah dia lebih mahal 3 kali lipat dibanding aku. Sejak saat itu, emang kuliah udah terkenal mahal banget. Aku tau kondisi yang awalnya seperti itu terus berubah jadi kayak gini, aku jadi mulai mikir. Aku nggak niat kuliah, ngapain dibayar kuliahnya? Biarlah duit orang tua ku dialihkan buat bayar kuliah adek ku yang bayarnya lebih mahal itu. Pernah suatu ketika, waktu batas akhir pembayaran uang kuliah, orang tua ku belum bisa bayar kuliah ku sama adek ku. Hingga akhirnya aku bilang ke orang tua ku, "Dah motor ku jual aja. Nanti biar aku naik motor yang lain nggak apa". FYI, waktu itu aku naik motor laki. Secara harga bisa lah kalau dijual terus buat bayar kuliah. Yaaah, faktor duit yang kayak ginilah yang ku maksud yang akhirnya menjadi pelengkap dari semua alesan yang udah ada sebelumnya. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk OD. Nggak lanjut kuliah.

Aku, waktu masih 70kg. Pernah 85kg tapi sekarang sedang berusaha menuju 77kg! Bisa nebak aku yang mana kan?
Sebenernya, faktor duit itu nggak cuman masa sedih seperti yang ku tulis di atas. Karena ada dua faktor duit yang aku alamin waktu itu. Soalnya, ternyata ada faktor duit yang lebih legit. Karena kejadian tersebut di atas, aku mulai cari uang jajan tambahan sendiri. Dengan memanfaatkan kamera yang ku punya. Aku mulai gabung sama orang, bantu-bantu usahanya buat nambahin uang jajan ku. Sampai akhirnya, flash kamera yang aku minta ke orang tua ku belum sempet mereka beliin itu, akhirnya bisa ku beli dengan jerih payah ku. Mulai saat itu, akhirnya semua barang-barang yang ku pengen bisa ku beli sendiri. Mulai dari hp, aksesoris kamera lainnya, terus yang lebih epic lagi adalah rerata sebagian besar cerita perjalanan yang ada di papabackpakcer, duitnya dari hasil ku memeras keringat. Nggak semuanya dari orang tua ku. Porsi duit yang ku dapet dibanding duit saku dari orang tua ku, lebih banyak duit yang ku kumpulin sendiri. Yaudah, akhirnya semakin-makin deh lupa sama kuliah. Udah kenal duit, ibarat kata aku kerja 10 hari lah, gajian 1 bulan. Ngerasa udah bisa menghasilkan uang, bisa beli apa yang ku mau, bisa hedon, bisa pergi kemana pun yang aku mau pake duit sendiri.  Puncaknya di sini, makin-makin lah aku nggak peduli sama yang namanya kuliah. Setelah memutuskan enggak kuliah, kegiatan ku lebih banyak berkutat dengan kamera buat bantuin usaha orang. Duitnya nggak seberapa sih sebenernya, yang jelas cuman cukup buat aku hedon doang, belum cukup kalau buat hidup.

Peran orang tua tuh, berpengaruh banget di hidup ku. Setelah aku memutuskan nggak kuliah, lebih ke arah cari duit. Tapi duitnya nggak seberapa itu tadi, aku mulai ngeluh kan ya "Oh shit, ini kalau gini terus gimana hidup ku nanti ya". Sempet aku tuh mau mutusin buat balik kuliah lagi. Tapi orang tua ku akhirnya jadi penyelamat dengan menghadirkan pertanyaan "Kamu masih mau tetep di Semarang tapi kuliahnya dilanjutin atau ikut balik ke Pekalongan tapi kuliah mu nggak akan diungkit lagi?" Naaaah... cerita ini nyambung ke tulisan ku yang ini: Pindah 3 Kali dalam 1 Tahun

Sepertinya tulisan ini sudah sangat terlalu panjang. Dari sekian banyak orang yang klik tautan yang kubagiin di sosial media ku, yakinlah paling cuman 1 persennya yang berhasil bacain sampai sekelar ini. Jadi, yang bakalan tau jawaban aku nyesel apa enggak udah ninggalin kampus yang diidam-idamkan banyak orang ya cuman 1 persen itu ya? Wkwkwk

Dan jawabannya adalah...

Minum dulu cuy, biar nggak haus. Ini ada minuman enak, namanya oriental. Cuman ada di Pekalongan. Btw foto yang ini juga minjem https://jejakbocahilang.wordpress.com

Enggak. Aku nggak menyesal. Semua yang telah ku alamin di dunia ini, ku anggep sebagai peajaran hidup. Kayak yang kutulis di atas, semuanya kuanggap pengalaman hidup ekslusif yang nggak akan pernah terulang lagi.

Kayaknya bagian ini cukup sampai di sini, daaaaah...

Nggak suka atau nggak setuju sama yang ku tulis di atas? Kamu bisa komen di bawah. Atau kalau nggak berani, kamu bisa bikin blog juga terus bikin tulisan tandingannya 👲

Show comments
Hide comments
2 komentar:
Write comment
  1. Aku setuju, dan sekarang iklimku di perkuliahan juga sama.
    Bedanya aku mau nglanjutin sejarah dan dirimu menjebol sejarah...
    Aku tetep lanjutin kuliah dengan iklim ini yang cuma meneruskan sejarah, dan iklim perkuliahan yang kaya gini emang toxic banget sampe aku sendiri jadi bagian yang toxic itu dan sekarang aku jadi kaum proletar di kampus dan yaaahhh tapi aku belum berani buat OD karena mungkin kita berbeda visi dan aku belum punya hal yang menghasilkan untuk menyambung hidup wkwkwkwk...
    Di kampus" Sekarang aku setuju itu terjadi tapi dengan power kaum proletar kaya aku gini gak akan merubah situasi malah aku mungkin dibilang dagelan, jadi aku putuskan buat ambil jalur lain tapi tetep bertahan di iklim busuk ini dengan berat hati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baguuus, mungkin 1 tahun setelah tulisan ini dibuat, aku jadi merasa betapa pentingnya kuliah. Bukan ilmunya, tapi ijazahnya. Bukan buat cari atau ngelamar kerja, tapi sebagai tambahan embel-embel buat ngelamar anak orang. Jadi, lanjutkan kulihnya wkwkwk. Pun nggak akan mbok pake buat ngelamar kerja atau apapun itu, yakinlah dengan punya gelar, jadi lebih mudah buat ngelamar anak orang wkwkwk

      Hapus

Back to Top