Meninggalkan gemerlap Kota Semarang, kemudian memilih untuk tinggal di suatu daerah yang tidak segemerlap tempat aku dibesarkan adalah keputusan tersulit yang pernah aku ambil. Konon katanya, ketika aku memilih untuk tetap tinggal di Semarang. Lalu, menyelesaikan apa yang seharusnya aku selesaikan (Baca: Kuliah). Pundi-pundi rupiah nggak akan sungkan untuk mengalir deras menghiasi saldo tabungan ku. Tapi nyatanya, aku nggak milih jalan itu. Ya, aku memilih jalan yang berbeda dibanding kebanyakan orang yang pernah mengecap manisnya kehidupan di kota-kota besar, Kota Semarang khususnya. Lalu, kenapa berbeda? Lantas, apa yang sekarang aku lakukan?
Seperti yang udah aku tulisin pada postingan sebelumnya, tentang Pindah 3 Kali Dalam 1 Tahun. Btw, ketika kamu belum baca tentang Pindah 3 Kali Dalam 1 Tahun, mungkin kamu bakalan kebingungan. Seakan tulisan ini loncat sana-sini nggak karuan. Jadi, alahkah baiknya kamu baca postingan tersebut dahulu apabila kamu belum sempat membacanya. Setelah membaca postingan tersebut, silahkan lanjutkan membaca paragraf selanjutnya.
Semenjak kepindahan ku dari Semarang, rasanya nggak akan ada hal istimewa yang bisa aku lakukan di Pekalongan. Semuanya terlihat abu-abu, samar-samar dan nggak bisa ditebak. Hal yang aku pikirkan waktu itu hanyalah "Orang tua ku nggak akan membuat bising telinga ku perihal kuliah yang tidak kunjung selesai". Ya, aku memang cuman cari aman doang. Karena sejujurnya, pada saat itu, aku sudah muak sama yang namanya bangku perkuliahan --Oh ya, bagian ini akan aku bahas lain waktu pada postingan selanjutnya-- Semuanya emang serba tak terduga. Tuhan berhasil memainkan perannya pada cerita hidupku. Awalnya, hal yang akan aku lakukan di Pekalongan adalah mencoba untuk mengembangbiakkan dan kemudian membudidayakan ikan lele. Namun nahas, setelah beberapa kali mencoba, ternyata aku masih gagal. Lama kelamaan, lenyaplah sudah rencana awal tersebut.
Setelah rencana itu menguap. Lalu, apa aja sih yang aku lakukan?
Suatu ketika, desa tempat aku tinggal, Desa Wonopringgo namanya. Membuat website desa yang dipesan melalui tenaga ahli yang telah dipilih. Setelah kulihat tampilan dan isinya, rasanya aku bisa membuat tampilan yang lebih baik serta mengisi website desa tersebut dengan isian yang lebih menarik. Setelah dicoba, ternyata Kepala Desa tempat aku tinggal menyukai apa yang aku kerjakan. Lalu, beralihlah pengelola website dari yang awalnya bukan warga Desa Wonopringgo beralih kepada aku yang notabene udah jadi warga Desa Wonopringgo. Yah... walaupun sampai postingan ini dibuat, KTP ku masih KTP Semarang siiih. Oke Skip!
Setelah itu, mulailah aku mengisi konten yang akan ditampilkan pada website desa tersebut. Pada dasarnya, karena aku blogger kali ya, rasa-rasanya kok eman-eman kalau postingan di website desa isinya cuman tulisan doang. Hingga akhirnya, aku mulai memasukkan foto-foto yang mendukung postingan-postingan yang akan dikeluarkan. Berturut-turut banyak inovasi yang aku lakukan dalam pengembangan web desa tersebut. Pertama, membuat web desa menjadi website bilingual --Mungkin ini yang pertama di Indonesia-- Website Desa yang Bilingual. Coba cari di google, website desa mana yang bilingual selain desawonopringgo.com? Rasa-rasanya nggak ada (Sampai tulisan ini dibuat).
Kedua, untuk mengikuti perkembangan zaman, aku nggak cuman membuat dokumentasi yang berupa gambar doang, aku mulai membuat dokumentasi kegiatan yang berupa Video Blog atau yang biasa disebut VLOG, yang masih rutin aku kerjakan hingga postingan ini dibuat. Terbaru, sepertinya akan ada inovasi lain yang akan dihadirkan oleh desawonopringgo.com yaitu aku beserta teman-teman yang lain akan membuat PRINGGODANI TV. Doakan semuanya bisa lancar yaaaa 🙈 Aku rasa, ketika PRINGGODANI TV dapat mengudara, ini akan menjadi desa pertama di Kabupaten Pekalongan yang memiliki channel TV sendiri 😊😊😊
MENJADI PENGURUS DI KARANG TARUNA DESA
Dulu, Karang Taruna di Desa Wonopringgo pernah bergeliat. Entah kenapa, beberapa tahun kebelakang, organisasi kepemudaan tersebut terbengkalai tak ada yang mengurusnya. Mendapat suntikan dana segar dari Dana Desa, tepat di tahun kepindahan ku, karang taruna mulai bergeliat kembali. Aku yang bukan siapa-siapa --yang baru saja akan memulai kehidupan ku di Desa Wonopringgo-- serta merta ditunjuk menjadi salah satu pengurus sekaligus ketua bidang yang aku terdaftar didalamnya. Yaitu, bidang Kelompok Usaha Bersama. Merasa nggak ngerti apa yang harus aku lakukan, sebenarnya aku ingin menyerahkan jabatan tersebut kepada pemuda lain yang sudah lebih lama tinggal di sib. Namun nahas, semuanya menolak. Kembali, kujalani peran baru yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.
DYK, Logo Ini Aku yang Bikin. |
TURUT SERTA MEMBANGKITKAN PERPUSTAKAAN DESA
Saat mengikuti rapat pembentukan pengurus karang taruna desa yang bertempat di Balai Desa, perhatian ku selalu tertuju pada sebuah lemari kaca tua berisikan buku-buku dengan tulisan "Perpustakaan Cerah Desa Wonopringgo". Ketika kuperhatikan sekeliling, nampaknya tak ada yang menggubris keberadaan lemari kaca tua tersebut, mereka tampak acuh terhadap keberadaannya. Karena penasaran, kutanyai pengurus karang taruna lainnya "Loh, ternyata di sini punya perpustakaan ya?" Rerata yang kutanyai pada kompak menjawab "Nggak ngerti, emangnya ada ya?". Padahal di ruangan tersebut yang nyatanya selama ini mungkin selalu mereka lihat itu, ada sebuah lemari yang bertuliskan "Perpustakaan Cerah". Setelah mengetahui situasi tersebut, kemudian aku menanyakan hal yang sama kepada Kepala Desa tempat aku tinggal
"Iya ada, namanya Perpustakaan Cerah"
"Cerah apanya? Orang perpustakaan Gelap gitu kok? Ganti aja namanya jadi Perpustakaan Gelap. Perpustakaannya nggak keurus gitu" Sanggah ku.
"Dulu koleksinya banyak, karena nggak ada yang mengurus, jadi ya terbengkalai seperti itu" Timpalnya lagi. "Yaudah, kalau sanggup, tolong dibangkitin lagi perpustakaannya"
Percakapan itu berakhir begitu saja. Aku yang merasa tak memiliki kemampuan dan keahlian apapun untuk membangkitkan perpustakaan tersebut, lalu mulai berbincang dengan ketua karangtaruna
"Mbak, itu perpustakaannya kok kasihan ya? Kan di karangtaruna ada bidang Pendidikan dan Pelatihan, kenapa enggak dimasukin ke program kerjanya bidang tersebut buat menghidupkan perpustakaan?"
Bentaaar... ini kayaknya kalau kulanjutin, ceritanya bakalan panjang. Kali ini ceritanya bakalan aku singkat, biar nanti aku cerita di postingan lainnya lagi aja ya. Biar bisa lebih mendetail.
Pada akhirnya, buku-buku berharga tersebut mendapatkan sebuah tempat dan rak buku yang layak. Sehingga, pantaslah kemudian tempat itu disebut sebagai perpustakaan. Buku yang awalnya polosan tanpa identitas pun, sekarang udah nggak telanjang lagi seperti selayaknya perpustakaan pada umumnya. Tak ketinggalan, perpustakaan tersebut juga telah memiliki penjaga yang akan setia mengawasi buku-buku yang ada.
MANJADI PENGURUS BUMDES
BUMDes adalah kepanjangan dari Badan Usaha Milik Desa. Mungkin karena keikutsertaan ku dalam kegiatan-kegiatan yang selama ini dilaksanakan di desa, aku direkomendasikan oleh Kepala Desa tempat ku tinggal untuk mengikuti seleksi pengurus BUMDes. Entah kenapa, nama ku masuk menjadi salah satu yang lolos jadi pengurus BUMDes. Beda cerita dibandingkan apa yang udah aku tulisin di atas. Sebelumnya, di desa tempat aku tinggal belum pernah ada kepengurusan dari BUMDes. Jadi, ini merupakan kepengurusan angkatan pertama. Segala sesuatunya serba coba-coba, serba mengamati. Yaaah... pokonya belum ada yang bisa dijadikan acuan karena ini merupakan kepengurusan BUMDes yang baru pertama kali ada. Sebelum paragraf ini jadi panjang kayak cerita perpustakaan desa, nampaknya paragraf ini harus kusudahi di sini. Sama seperti paragraf sebelumnya, aku juga akan menceritakan perihal tersebut melalui postingan lainnya.
Ini dia, yang selama ini amat jauh dari pikiran ku. Mengikuti ajang pemilihan Duta Wisata tingkat Kabupaten lalu secara kebetulan bisa menjadi juara satu. Ini benar-benar bukan apa yang selama ini aku banget. Beberapa sahabat ku, yang emang tau betul mengenai keseharian ku kompak melontarkan pertanyaan "Serius? Kamu ikutan acara begituan? Aku kok nggak percaya ya? Itu nggak kamu banget deh kayaknya". Yaaa, bagian ini juga nggak bakalan aku panjangin. Karena aku udah menyiapkan postingan khusus yang akan membahas hal ini --Postingannya malah udah jadi jauh-jauh hari sebelum postingan ini terbit-- Memang sengaja belum aku keluarin, karena aku sedang memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk mengeluarkannya. Dimana cara tersebut nampaknya telah berhasil aku temukan melalui postingan ini.
Lima hal yang kena cetak tebal (bold) di atas. Bakalan aku bikinin postingan yang akan membahasnya secara khusus. Karena kalau aku taruh semuanya dalam satu postingan, nampaknya bakalan memusingkan untuk dibaca. Sebelum aku mengakhiri postingan ini, aku bakalan memberitahu tulisan keren yang dibuat oleh salah seorang teman blogger yang kemudian menjadi teman di dunia nyata. Namanya Halim Santoso. Dia pernah membuat suatu tulisan yang sangat bagus sekali. Intinya sih tulisan tersebut membahas apa yang aku sampaikan di atas yang dirangkum dalam satu postingan yang sangat menginsiprasi. Postingan berjudul "BELAJAR ARTI KATA PULANGDARI KAMPUNG NASI GORENG" kurang lebih menceritakan tentang apa yang selama ini aku alami. Sembari menunggu postingan dari hal-hal di atas meluncur, silahkan baca postingan Halim Santoso di blognya JEJAK BOCAH ILANG
Foto Bareng Mas Halim dan Wike Oktaviana |
Terus, kenapa postingan ini judulnya KKN Sepanjang masa? Iya... aku tau, aku juga sadar kalau aku belum pernah ngerasain yang namanya KKN. Tapi kayaknya, KKN zaman now ya gitu-gitu aja kan ya? Bikin kegiatan, ngajarin orang desa di tempat dia kkn, tugasnya kelar, habis itu bisa jalan-jalan (Eh malah kayaknya banyak jalannya dibanding kegiatannya ya?). Setelah kkn selesai, yaudah, tugas dia selesai. Dia melupakan desa yang nyatanya punya andil besar dalam fase kelulusannya tersebut. Kalau boleh kasar sih aku bilangnya kayak kacang lupa kulitnya. Naaaah... rasa-rasanya lima hal yang udah aku tulis di atas kayak KKN gitu kan ya? Serta masih aku kerjakan sampai sekarang. Entah besok-besok, aku nggak berani menjamin. Tapi, dari judul postingan ini, rasa-rasanya kayak harapan baik yang kudu dilanjutkan bukan? Nggak harus nunggu SARJANA MEMBANGUN DESA atau DOKTOR MEMBANGUN DESA untuk mau tinggal di desa kan? Jadi, nggak perlu jadi sarjana, nggak perlu jadi doktor kalau mau "sedikit" berusaha untuk membangun desa to?
Kalau desa bisa maju, kalau desa terus berinovasi, kalau desa mau bergerak, kalau ada penggerak di desa, kalau ada yang mau berkorban untuk desa, kalau banyak orang pintar mau tinggal di desa, jikalau program sarjana membangun desa nggak cuman angan, jikalau program doktor membangun desa terlaksana, bisa dibayangin gimana Indonesia kedepannya? Rasa-rasanya gaung macan asia nggak cuman semboyan doang.
PULANGLAH
Bangun Desa mu
Atau Desa Orang Tua mu?
Atau Desa Kakek Nenek mu?
Jangan ke Jakarta doang, Jangan ke Semarang doang,
Kota-Kota Besar Udah Sumpek Sesak
Buat Apa Punya Duit Banyak tapi Cuman Bermanfaat Untuk Diri Sendiri?
Buat Apa Punya Ilmu Banyak tapi Dipendem Sendiri?
Lebih Baik Punya Sedikit tapi Dibagikan Bukan?
Pulanglah...
Indonesia Membutuhkan mu...
Jangan Buat Kota Sesak itu Makin Bertambah Sesak
Pulanglah Para Sarjana
Pulanglah Wahai Doktor
Gelar mu, Dibanggakan Pemerintah Untuk Membangun Desa
Tentu Kamu tidak Melupakannya Bukan?
Pulanglah...
Mainkan Peranmu, Peran Tanpa Tanda Kutip
Ini Waktu Penilaian Lomba Perpustakaan Desa Tingkat Jawa Tengah Tahun 2018. Iya, Perpustakaan Gelap tadi Udah Sedikit Cerah Sekarang. |
KKN mu sebentar doang? Nggak seru! Enakan KKN sepanjang masa. Jadi, masih mau KKN lagi?
Baru baca tulisan mengharu biru ini. Suka dengan puisi "Pulanglah". Seneng juga ada namaku disebut di atas hehehe. Beneran jadi kangen ama Wonopringgo. Dan kudoakan supaya Pringgodani TV segera tayang jadi channel nasional. Amin. ^^
BalasHapus