Intro: Sekarang gue udah pensiun buat nyumbangin ketikan gue di blog antah brantah ini. Sebagai gantinya, terhitung mulai sekarang hingga seterusnya, Papa yang bakalan gantiin gue buat nyumbangin ketikannya. Ada banyak hal yang mendasari kenapa gue harus pensiun buat ngetik. Alasan yang paling kuat adalah blog ini punya ”Papa” dan bukan punya ”gue”. Oke, cukuplah membualnya. Sekarang mari kita serius dikit. Kali ini Papa mau membahas salah satu tempat fenomenal yang ada di Jawa Tengah. Mau tau lebih banyak tentang bangunan di atas? Mari kita simak sama-sama...
Malam ini hujan turun membasahi kota yang Papa tinggali. Kota panas yang akhir-akhir ini berubah menjadi agak dingin. Iya, dingin yang hanya bisa dirasakan dengan dua syarat atau salah satu diantara keduanya, yaitu saat malam datang dan saat hujan turun. Malam ini, ada sebuah sound track yang mengiringi gerak sebelas jari Papa memilah tombol yang tersedia dihadapannya. Ada suara petir-petir kecil dan ada juga suara-suara hujan yang pecah mengenai daratan. Oh ya, ada yang lupa, bau tanah yang tertimpa hujan juga tidak ketinggalan. Ah, betapa menyenangkannya malam ini, panas menjadi dingin, tetesan air ditemani petir-petir kecil dan yang paling asoy, bau tanah basah. Begitulah kira-kira yang aku tangkap dari cerita Papa malam ini.
Sudah lebih dari satu jam aku berusaha untuk mengistirahatkan mataku. Namun, apa daya, aku tidak sanggup melakukannya. Aku rindu cerita-cerita Papa yang selalu bisa membuatku untuk tidak henti-hentinya mencintai negeri ini. Walau terkadang bualannya membuatku mengantuk, tapi tetap saja, aku akan sulit tidur jika tidak mendengarkan ceritanya. Terakhir kali aku mendengar ceritanya sekitar satu bulan yang lalu, pantas saja aku susah tidur malam ini. Tapi mungkin, malam ini aku akan tertidur dengan lelap.
Papa memulainya dengan membaringkan badan disebelahku. Kemudian tangannya dengan sigap meraih kamera yang dia bawa, sambil tidak lupa memperbaiki posisi otongnya yang mulai agak miring. Matanya mulai memilah-milah foto yang ada dalam kamera. Katanya sih, untuk mengingat-ingat apa yang telah dilaluinya. Jemarinya dengan lihai menekan tombol-tombol rumit itu, hingga kemudian mulutnya mulai berbicara.
“Oh ya, dulu Papa pernah ke Kebumen”
Kebumen adalah ibu kota dari sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Samudra Hindia di sebelah Selatannya. Biasanya sih, daerah yang berbatasan dengan Samudra Hindia, lautnya keren. Namun sayang, banyak yang belum mengetahui keindahan kabupaten yang menjadi tempat lahirnya Kasino Hadiwibowo atau yang lebih kita kenal sebagai Kasino Warkop. Selain itu, Soemitro Djojohadikoesoemo, salah satu pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan juga biasa disebut sebagai begawan ekonomi Indonesia, juga lahir di kebupaten ini. Banggalah kalian yang lahir, besar dan hidup di Kebumen. Kebumen itu indah, banyak orang hebat negeri ini dilahrikan di sana. Berhubung Kebumen merupakan bagian dari Indonesia, banggalah kalian yang juga lahir, besar dan hidup di Indonesia.
Informasi lain mengenai Kabupaten Kebumen bisa dilihat dari dua link berikut: Wikipedia
Waktu itu, akhir bulan November sekitar tahun 2013, Papa diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengunjungi Kebumen. Seperti biasa, alat transportasi yang Papa gunakan adalah kendaraan roda dua. Loh kok digunakan Pap? Oke, Papa salah, maksudnya dikendarai. Berhubung itu bukan merupakan sebuah kegiatan yang didanai oleh dinas, maka Papa harus menghemat biaya yang akan dikeluarkannya selama perjalanan. Kata Papa sih, perjalanan panjang dari Semarang menuju Kebumen tidak akan terasa melelahkan, karena setelah sampai Kebumen, Papa dapat memanjakan matanya dengan pemandangan indah yang Kebumen tunjukkan. Selama di Kebumen, setidaknya Papa mengunjungi tiga tempat wisata, diantaranya adalah Pantai Ayah, Goa Jatijajar dan...
”Bangunannya didominasi warna merah, ada meriamnya, bentuknya segi delapan, tempat syutingnya The Raid 2”
Dari kejauhan, bangunan itu didominasi oleh warna merah yang dihasilkan dari banyak tumpukan bata yang menjadi dindingnya. Kalau dari jauh sih biasa saja, bangunan itu tidak ada istimewanya sama sekali, malah terlihat seperti layaknya stadion sepak bola. Karena penasaran, akhirnya Papa melangkahkan kaki untuk menuju bangunan itu. Saat Papa mendekat, jari-jarinya mulai gatal untuk menekan-nekan tombol yang biasa dia gunakan untuk mengabadikan keindahan-keindahan yang dilihatnya. Satu jepretan... dua jepretan... tiga jepretan... kemudian, Papa langsung sadar, ternyata bangunan itu sangatlah fotogenik.
Pada salah satu bagian dindingnya, terdapat tulisan yang menandakan bahwa bangunan itu didirikan pada tahun 1818. Ah, betapa tuanya bagunan itu. Di bagian depannya, ada beberapa pernak-pernik perang, seperti meriam dan prajurit perang lengkap dengan senjatanya. Entahlah, meriam yang dipajang itu barang asli atau barang tiruan. Kalau asli, betapa bahagianya Papa, karena tangannya pernah menyentuh barang bersejarah. Jika dilihat dari waktu pembangunan dan pernak-pernik hiasannya, dapat dipastikan bahwa bangunan itu memiliki sejarah panjang tentang berdirinya negeri ini.
”Pap, lampunya matiin aja”
Papa menegakkan badannya, kemudian meraih saklar lampu yang terletak tidak jauh dari tempatnya berbaring. Hujan telah berhenti, sound track yang mengiringi cerita-cerita Papa telah berhenti, begitu juga dengan petir-petir kecil itu, mereka telah menghilang. Ah, betapa sunyinya malam ini. Bau tanah basah juga telah menghilang. Sekarang yang tercium adalah bau ketek Papa yang memang jarang mandi. Oke, ada bau sperma juga kok :(. Kamar ku yang memang terkenal akan bau spermanya, masih harus ditambah bau ketek Papa?! Oh no! Tak apalah, bukankah dunia ini penuh rasa?
Kemudian, papa mulai melanjutkan ceritanya...
Konon katanya, bangunan itu adalah salah satu dari dua benteng berbentuk segi delapan yang masih ada di dunia hingga saat ini, satunya lagi adalah Benteng Santo Antonio da Barra yang terletak di Brazil. Selain tempat bersejarah, benteng ini ternyata begitu eksklusifnya. Hanya negara tertentu yang memiliki benteng dengan bentuk yang tidak lazim ini.
Nih kalau mau lihat Benteng Santo Antonio da Barra: wikipedia
Nama benteng yang sedang Papa kunjungi itu adalah benteng Van Der Wijck. Kalau menyebut nama Van Der Wijck mungkin akan langsung tertuju pada film yang kemarin-kemarin baru booming ”Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck” tapi ternyata bukan. Cerita yang disuguhkan sangatlah berbeda. Kalau orang yang sudah tau sih, mungkin jika mendengar nama benteng Van Der Wijck akan langsung tertuju pada film yang kemarin-kemarin baru booming juga ”The Raid 2”. Iya, benteng Van Der Wijck adalah salah satu tempat yang dijadikan sebagai latar dalam film laga fenomenal itu.
Kalau Papa amati, sepertinya bangunan ini adalah bangunan peninggalan dari bangsa Belanda. Bangunan ini memiliki kesamaan yang terdapat pada bangunan bersejarah lainnya yang berada di Kota Semarang, Lawang Sewu. Kesamaannya adalah pada bagian dalam benteng tersebut ada sekat-sekat penghubung ruangan yang kalau diperhatikan secara seksama terdapat kemiripan diantara keduanya, yaitu seperti gerbong kereta api. Dari kemiripin itulah makanya Papa dapat menarik kesimpulan bahwa Benteng Van Der Wijck adalah bangunan peninggalan bangsa Belanda. Iya, sekali lagi Papa tekankan bahwa bangunan ini adalah bangunan yang fotogenik. Tapi sayang, pada bangunan secantik itu terdapat pemandangan yang merusak mata, yaitu tulisan "Kereta Wisata Atas Benteng". Harusnya, tulisan tersebut dipindahkan sehingga tidak merusak keindahan bangunan tersebut, ya to?
”Pap kalau aku mau ke sana, gimana caranya?”
Ah zaman sekarang teknologi udah maju, pakai GPS bisa, pakai Google Maps bisa, pakai peta juga bisa bahkan pakai mulut pun bisa. Iya, pakai GPS atau Google Maps bisa kok, tinggal searching aja ”Benteng Van Der Wijck” kalau enggak ada, pakai kata kunci ”Jalan Sapta Marga, Kecamatan Gombong” karena bentengnya terletak di Jalan Sapta Marga, Kecamatan Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Kalau masih enggak ketemu juga, tenang aja, ada rambu-rambu penunjuk jalan dan orang-orang di pinggir jalan kok :)
”Waktu itu, Papa lihat ada bule yang lagi mengunjungi benteng juga, kayak Papa. Beeeh... badannya putih-putih, mulus deh pokoknya. Apalagi, bule-bule itu pakai celana yang pendek-pendek banget, seksi abis. Ada juga yang pakai rok. Nah kalau yang pakai rok ini lebih keren lagi, celana dalemnya sampai kelihatan karena saking pendeknya rok yang dia gunakan, warna celana dalamnya itu merah muda, imut banget deh pokoknya. Terus, kebanyakan dari mereka menggunakan pakaian yang tipis-tipis, Kebumen panas kali ya? Kalau mereka pakai pakaian yang tipis, kebayang lah gimana bagusnya yang lagi Papa lihat..."
Papa mulai membual, ceritanya mulai membosankan. Aku tak tahu apakah itu benar atau tidak. Biasanya sih, omongan kalau tanpa bukti namanya bual. Papa enggak nunjukin foto-foto bule yang dilihatnya padaku, terlebih yang celana dalamnya kelihatan. Jadi, yang ada dipikiran ku adalah cerita Papa mulai menjurus ke sebuah bualan yang membuat mataku terasa sangat berat....
Info lain mengenai Benteng Van Der Wijck dapat di lihat dari empat link berikut: Wikipedia ; Detik Travel
Nih, ada sedikit oleh-oleh dari Benteng Van Der Wijck
Oke, akhir kata, Salam buat Papa!
Bayu Taufani Haryanto
@bayutaufani
aku sudah kesini tempatnya keren
BalasHapusIya, saya sudah baca postingannya mbak kok hhhee :) Saya juga ke Goa Jatijajar dong, sama kayak mbaknya :)
Hapustone warna fotonya cihuy bet, cetarr :D
BalasHapusCuman naikin suturasi doang sih kalau itu om hhhee :D
Hapussama toss kita hehehe
BalasHapusToss hhhee :D
Hapusbelom pernah ke ke sini :'(
BalasHapusWaaah rugi deh kalau enggak ke sana :D
HapusKeren loh bentengnya, kalau di foto juga keren loh bentengnya hehehe :D
Ayolah main ke sana :)