Ini adalah serial terakhir dari Jawa Barat Aduhai. Dimana seri pertama adalah cerita tentang secret beach, Pantai Madasari, seri kedua tentang keindahan sebuah tempat bak di negeri dongeng, Green Canyon, kemudian akan kemanakah gue setelah ini? Coba tebak, gue lagi dimana?
Sebelum membaca ketikan yang satu ini, ada baiknya baca dulu seri pertama dan kedua dari serial ini. Dimana seri pertama berkisat tentang Secret Beach, Pantai Madasari serta seri yang kedua adalah tentang Duplikatnya Grand Canyon, Green Canyon. Oke, selamat menikmati...
Kalian tau minuman yang biasanya diminum sama nenek lo waktu pagi-pagi? Minuman itu kalau dalam pelajaran Bahasa Jawa waktu gue SD, mendapat tagline “Ginastel” yang merupakan kepanjangan dari “Legi, Panas lan Kentel” (Manis, Panas dan Kental red.) Iya, minuman yang biasanya berwarna coklat itu dinamakan “Keju” eh bukan deng, maksud gue, “Teh”. Walaupun zaman sekarang ada teh hijau, teh merah, teh putih dan lain sebagainya, tapi tetap sajakan ikonik yang melekat pada teh adalah “Warnanya coklat”. Minuman teh itu berasal dari daun, pucuk daun atau tangkai dari tanaman yang bentuknya bisa lo lihat dari gambar di atas.
Tanaman tersebut biasanya terdapat di daerah yang hawanya cukup sejuk, yang biasanya terletak di dataran tinggi. Salah satunya adalah kebun teh yang berada di sepanjang jalan menuju ke Tangkuban Perahu dan Ciater ini. Jadi, untuk daerah yang hawanya panas, macam Semarang, Jakarta, Surabaya dan kota lain yang memiliki kategori “Panas”, akan sangat sulit ditemukan keberadaan tanaman yang satu ini. Walaupun tidak menutup kemungkinan tanaman teh ada di daerah panas, tapi tetap saja tanaman teh itu identik dengan hawa yang sejuk kan?
Jadi, kalau lo biasa tinggal di daerah yang panas dan tidak ada tanaman tehnya, view macam beginian enggak mainstream kan?
Oh ya, ada yang unik dari kebun teh ini. Biasanya, kebun teh itu terletak pada jalanan yang sepi yang tidak ada ujungnya, alias jalan buntu. Jadi, yang lewat di kebun teh itu ya cuman orang jalan kaki atau kendaraan kecil dan suasananya tenang. Nah, lain halnya dengan kebun teh yang satu ini. Kebun teh ini mengapit jalan utama yang menghubungkan antara Bandung dengan Subang, yang melewati beberapa tempat wisata terkenal. Jadi, jalanan yang diapit oleh kebun teh ini merupakan jalan raya yang sangat padat, yang tidak menutup kemungkinan akan dilewati oleh kendaraan besar macam truk tronton. Nah, kalau lo mau ke Tangkuban Perahu atau mau ke Ciater, pasti deh ngelewati kebun teh yang satu ini. Oh ya, ada tempat fenomenal lain yang bisa lo singgahin di daerah ini “Tanjakan Emen”.
Kalau gue boleh lebay sih, hamparan tanaman teh yang tersusun rapih ini bak karpet hijau yang sangat menyejukkan mata. Walaupun gue kesana pas siang bolong, tapi panas yang disajikan enggak sepanas di Semarang kok. Em... atau mungkin karena pengaruh hijau-hijaun yang jadi pemandangan gue kali ya?
Gue ini ke Bandung enggak tau jalan dan enggak tau apa-apa. Modalnya cuman duit, tenaga dan GPS. Jadi, kalau ditanya “Itu kalau mau ke tempat yang pernah lo ceritain gimana caranya?” gue bakalan geleng-geleng kepala dan bilang “Enggak tau, yang gue tau, itu di Bandung, deket-deket Tangkuban Perahu gitu. Jalan yang gue lewatin juga enggak tau, gue cuman ngandalin GPS dan tanya-tanya sama orang” Hal itu pun juga berlaku buat tempat yang satu ini:
Terdapat gundukan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput yang tidak tertata secara rapi. Didekat gundukan tersebut terdapat sebuah nama yang diukir diatas sebuat beton yang juga ditumbuhi rerumputan yang tidak ditata secara rapi pula. Informasi yang didapat ketika memandang ukiran yang tersaji adalah “Mentri Negara Republik Indonesia”. Tidak jauh dari lokasi gundukan itu terdapat sebuah tiang yang di atasya berkibar bendera kebanggan negeri ini, Merah Putih yang nampak sangat lusuh seperti tidak pernah dicuci.
Mari kita kembali pada akhir tahun 1952 saat peristiwa yang mendalangi didirikannya bangunan tersebut. Saat itu, warga Bandung menyaksikan pemakaman kembali tokoh yang namanya diabadikan pada salah satu stadion yang berada di Bandung, Si Jalak Harupat. Itu adalah nama lain atau sebutan dari pahlawan nasional yang namanya sering kita dengar pada pelajaran sejarah, Otto Iskandardinata. Sebenarnya, tempat itu bukanlah sebuah makam, karena jasad dari pahlawan kita yang satu ini belum ditemukan sampai sekarang. Maka dari itu, peristiwa pada akhir tahun 1952 itu disebut sebagai ”Pemakaman Kembali”. Jadi, tidak ada jasad yang ditimbun dibawah gundukan yang tidak terrawat itu. Sebagai simbolis, pada waktu itu yang ditimbun saat acara ”Pemakaman Kembali” adalah pasir dan air laut yang diambil didaerah Mauk, sekitar 21 kilometer dari Tangerang. Kenapa ngambil pasir dan air lautnya harus dari daerah itu? Karena di Bandung enggak ada laut bung! Bukan deng, alasan sebenarnya adalah karena di tempat itulah, konon katanya Otista dibunuh dan kemudian jasadnya dibuang begitu saja ke laut. (Otista = Otto Iskandardinata red.)
Otista adalah Mentri Negara Republik Indonesia yang menduduki jabatan pada kabinet pertama yang dibentuk di negeri ini. Saat menjadi mentri dan masa-masa hidupnya sebelum menjadi mentri, Otista dikenal sebagai pribadi yang tegas dalam berucap dan bersikap. Mungkin karena ketegasannya itulah ada orang yang tersinggung, kemudian datanglah sekelompok manusia yang dinamai sebagai ”Laskar Hitam”. Kelompok tersebut mendapatkan nama itu karena setiap anggotanya memakai pakaian dan ikat kepala yang semuanya serba hitam, menculik Otista. Kemudian beliau dibawa ke daerah Mauk, yah, terjadilah kesadisan itu.
Cukup tragis memang, salah satu orang yang telah memperjuangkan berdirinya negeri ini diperlakukan seperti itu. Manusia yang mau berbuat lurus menegakkan keadilan malah disingkirkan, secara tidak manusiawi pula. Dewasa ini, hal tersebut masih (sering) terjadi, walaupun tidak sebrutal itu. Tapi kenyataannya masih ada. Pelajar yang suka mencontek contohnya. Inikan secara perlahan-lahan namun pasti, juga akan menyingkirkan orang-orang yang mau berbuat lurus to? Jadi, apakah tulisan yang dicengkram oleh burung garuda itu hanya tinggal omong kosong belaka, ”Bhineka Tunggal Ika”? Atau sekarang malah terbalik, ”Ika Tunggal Bhineka”?
Info lain mengenai Otto Iskandardinata dapat dilihat dari wikipedia
Duh, ngetik apalah gue ini, sok pinter banget deh pokoknya. Yang jelas intinya, gue capek ngelilingin tempat-tempat yang enggak mainstream tersebut di atas sewaktu gue di Bandung. Yang kemudian memaksa gue untuk lihat pecun-pecun yang mulai bergeliat di sekitar penginapan gue. Iya, penginapan yang gue singgahin itu adalah surganya cewek-cewek bisyar (bisa dibayar red.) di Bandung. Jadi, walaupun masih sore, cewek-cewek cantik udah pada bersiap buat mejeng di pinggir jalan. Persiapan yang mereka lakukan macem-macem, ada yang lagi tata-tata di salon, ada yang lagi jalan-jalan tapi pake baju kurang bahan, ada yang mondar-mandir cuman pake tank top doang, bahkan ada yang udah kecapekan habis ngelayanin pelanggannya. Intinya, setelah dapet pemandangan begituan, capek gue sedikit terobati. Tapi, tetep aja akhirnya gue tidur juga. Oh no, gue enggak tidur sama cewek sewaan kok, suer!
Sebenarnya, ini sih yang paling gue tunggu. Malam mingguan di Bandung. Iya, kejadiannya tepat pada hari Sabtu, 5 Oktober 2013. Tau kan Bandung itu konon katanya keren kalau pas malam minggu? Gue pun juga tau. Tapi, gue belum pernah mandangin secara langsung, yang kemudian membuat gue rada-rada enggak percaya gitu. Nah, diselimuti oleh rasa penasaran tersebut, akhirnya gue sempet-sempetin diri buat menikmati malam mingguan di sana. Tempat yang bakalan gue kunjungin sih standar-standar aja, macam Dago dan Gedung Sate. Tapi kalau kedua tempat standar itu dikunjungi waktu malam hari, gimana coba suasananya? Apa iya ”standar”? Mari kita simak sama-sama.
Dago itu berasal dari Bahasa Sunda yang artinya menanti atau menunggu. Soalnya, tempat ini sering dibuat untuk ketemuan alias rendezvous. Ngomong-ngomong tentang Dago, enggak akan pernah habis deh pokoknya. Disana itu banyak banget yang bisa dikunjungin, mulai dari tempat wisata, ITB, Hotel buat ehem...ehem, Wisata kuliner dan yang paling hits adalah keberadaan bermacam-macam Factory Outlet dari berbagai merek branded. Lengkap deh, mau apa aja di Dago, ada! Nama Dago sendiri sebenernya adalah nama samaran, sementara nama aslinya adalah Jalan Ir. H. Juanda. Karena telah mendarah daging, jadi nama samaran itulah yang lebih tenar dari pada nama aslinya.
Kalau gue boleh bilang sih, Dago ini adalah tempat yang fotogenik banget. Taman-taman kecil yang berdiri berdampingan dengan trotoar ditata begitu rapinya. Apalagi kalau berada di sekitaran taman Dago, itutuh taman yang ada tulisan ”DAGO” yang hurufnya gede-gede itu. Semua golongan tumpah ruah di sana. Mulai dari orang yang sok nyeni sampai yang seniman, mulai dari yang sok gaul sampai yang suka menggauli, mulai dari yang cowok beneran sampai setengah cowok, mulai dari geng motor sampai aktivis go green ada semuanya. Pokonya, Dago itu lengkap men. Namun, dibalik keindahan dan kerukunan warganya, ada penyakit orang Indonesia yang sudah menjangkit sejak dahulu kala, parkir kendaraan di atas trotoar. Jadi, seharusnya para guru tidak boleh lagi mendoktrin murid-muridnya bahwa ”Trotoar itu tempatnya pejalan kaki”, seharusnya adalah ”Trotoar adalah tempat parkir motor dan berjualan”. Yasudahlah, dibalik sedikit kecacatan itu, Dago tetap keren kok!
Hari semakin malam, takut para bencong mulai keluar, akhirnya gue putuskan untuk meninggalkan Dago. Tempat yang gue tuju berikutnya adalah Gedung Sate. Eiitt jangan salah, kalau belum pernah ke Gedung Sate waktu malem-malem, jangan komen deh ah. ”Siapa sih yang belum pernah lihat Gedung Sate?” *minimal dari gambar lah. Gue yakin mayoritas bakalan jawab ”Udah pernah dong!”, tapi kalau pertanyaannya ”Siapa yang udah pernah ke Gedung Sate waktu malem-malem?”, gue enggak yakin kalau mayoritas udah pernah. Mungkin karena banyak yang menganggap ”Ah ngapain sih ke Bandung cuman ke Gedung Sate doang? Mending ngecengin awek-awek Bandung aja kali dari pada mantengin Gedung Sate!” Ah banyaklah alesan yang enggak rasional kalau misalnya ada pertanyaan ”Ke Gedung Sate yuk?”
Terlepas dari anggapan tersebut di atas, Gedung Sate tetap menjadi tempat wisata alternatif untuk wisatawan yang berkenjung ke Kota Bandung. Buktinya, waktu gue ke sana, Gedung Sate tetap saja ramai pengunjung kok. Gedung sate ini ibarat Tugu Muda kalau di Semarang. Wisatanya gratis tapi susah nyari tempat parkir. Sekalinya ada, tempat parkir yang disediakan itu adanya di tempat yang konon katanya dibuat untuk pejalan kaki, trotoar. Bedanya, kalau Tugu Muda itu lampu yang menghiasinya gitu-gitu doang, kalau kata anak zaman sekarang sih mainstream gitu. Nah kalau Gedung Sate yang sekarang, sudah dihiasi lampu-lampu yang kian mengkokohkan dirinya bahwa bangunan itu adalah bangunan ikonik. Iya, jadi lampu-lampu itu disusun secara rapi sehingga membuat kesan bahwa bangunan itu bukanlah bangunan tua, tapi bangunan yang memiliki gaya yang lebih muda. Bisa dibilang kalau Gedung Sate ini telah menambah daftar bangunan fotogenik yang berada di Kota Bandung.
Info lain mengenai Gedung Sate dapat dilihat di wikipedia
Rasa-rasanya jari-jari di tangan gue masih pengen mencet-mencet tombol yang ada di kamera. Tujuannya apalagi kalau bukan buat mengabadikan segala keindahan dari Kota Bandung. Tapi apa daya, batrai kamera gue habis...
Oke, Akhir kata, Salam Buat Papa!
Bayu Taufani Haryanto
@bayutaufani
Tidak ada komentar:
Write comment