Rabu, 05 Februari 2014

Bintang-Kejora: Open Your Eyes! GK,JK,Dieng!






Intro: Setelah memperoleh berbagai macam perjalanan menjajah berbagai macam kota, yang kemudian selama ini gue anggep biasa-biasa aja, gue jadi tertantang untuk melakukan perjalanan yang lebih menantang. Biasa-nya, orang-orang kalo pergi ke suatu kota, yaudah di kota itu doang aja yang diubek-ubek. Berhubung gue beda dan agak sedikit freak, jadi gue bakalan keluar dari kebiasaan yang udah ada. Pertama, perjalanan kali ini bakalan gue kemas dengan cerita yang enggak kayak biasanya gue ber-ngetik ria, bakalan gue buat beda. Kedua, perjalanan kali ini bakalan lengkap destinasinya. Mulai dari pantai, kota-kota sampek ke pegunungan, lalu dari sunset, air laut, lampu kota, bule, sunrise sampek kabut, bakalan ada diketikan gue. Enggak melulu tentang Jogja doang atau Wonosobo doang, enggak!

Yaaah intinya seperti itu, gue bakalan cerita pake gaya yang beda. Jadi, enggak melulu tentang keadaan real, bakalan banyak bualan yang sengaja gue buat untuk ngebualin kalian para pembaca setia blog gue. Intinya, ini adalah ketikan perjalan gue secara nyata. Tapi bukan gue yang jadi pemeran utamanya dan bakalan banyak bumbunya, cinta utamanya. Sex? Oh no, ini bukan cerita porno men, jadi ya enggak ada! Kalo mau yang porno, dm gue di @bayutaufani! Maaf, bercanda!

Semarang, Agustus 2012

1 PM

Udara panas khas Kota Semarang menusuk sampai ke tulang rusuk. Jari dan pena berkolaborasi membentuk sebuah tulisan ilmiah perusak hari-hari indah mahasiswa, laporan. Lelaki itu tengah mengerjakannya dengan penuh semangat. Tiba-tiba, matanya mengarah ke sosok perempuan yang berjalan dari gedung seberang. Perempuan itu terlihat mempesona. Senyuman dari bibir mungilnya memabukkan. Matanya indah, membius dan mecabik-cabik. Penampilannya sederhana, tidak mencolok. Hal itu justru menandakan bawa penampilannya tidak biasa. Kepalanya berbalut kain suci yang menutupi geraian rambutnya. Badannya dihiasi kaos lengan panjang yang menutupi hampir seluruh bagian tangannya. Kemaluannya berbalut rok dari bahan sifon menjuntai mengikuti langkahnya.
Anggun sekali.
Sejuk.
Memukau.

Bintang terus memandangnya. Tanpa pernah mengalihkan pandangannya pada sosok lain. Panas Semarang seakan berubah menjadi sejuk. Bintang terperosok pada paras indahnya. Tanpa ada kesempatan untuk saling menatap satu sama lain. Perempuan itu tidak menyadari keberadaan Bintang. Dia bukan lelaki yang dengan gagah berani menghampiri perempuan idamannya lalu mengajak berkenalan, apalagi berciuman. Itu kelemahannya. Dia hanya berani mencuri-curi pandang pada perempuan itu. Hening, iya, hanya mencuri-curi pandang dan hening.

"Andai aja gue berani buat ngajak kenalan, pasti gue masih punya kesempatan buat deketin itu cewek"

Bintang terus melamun dan membayangkan seandainya perempuan itu menjadi kekasihnya. Hatinya bergolak, dia merasa ada getaran yang berbeda dikala membayangkan perempuan itu, walaupun tanpa tahu namanya.

Bintang tersadar dari lamunan, karena adanya getaran di celananya. Tidak, dia tidak sedang mengalami penyiksaan alat kelamin yang membesar sementara ukuran celananya tetap, tidak, dia tidak sedang mengalami estrus hanya karena membayangkan perempuan yang tadi dilihatnya. Tapi, karena ponselnya bergetar. +62857275...., begitulah tulisan kecil yang seketika muncul di layar ponselnya. Tak sulit baginya untuk mengetahui siapa yang sedang menghubunginya.

"Kamu bandel amat sih, udah dibilang deadline ngumpulin itu tadi jam 12. Dan sekarang udah jam 1, tapi kamu kok masih aja belum ngumpulin sih? Apa kamu baru ngerjain? Butuh kelonggaran waktu lagi? Apa perlu aku bantuin?" Suaranya begitu halus, asisten yang satu ini memang menaruh perhatian lebih padanya. Jarang sekali ada asisten yang baik kayak gini.

"Oh iya mbak, baru ngerjain nih akunya, baru sempet, maaf mbak, nanti deh jam 3 aku kasih ke kosan mbak :p" Timpal Bintang dengan nada memelas, sok imut!

"Langiiiiit, udah aku bilang, jangan panggil mbak. Panggil Dita aja kali. Kamu sekarang dimana? Aku bantuin deh" Iya, perempuan itu punya panggilan kesayangan buat Bintang. Langit, begitulah dia biasa menyebutnya.

"Di kedai susu mbak... emmm... Dit, yaudah sini deh boleh hhee" Rei tampak canggung dengan sebuta itu, Dita.

"Aku ke sana, wait me ganteng" Ya, itu juga panggilan kesayangan Dita untuknya, ganteng.

Tut... tut... tut...

"Ah Dita, kamu ganggu aja sih, jarang-jarang ada bidadari ke bumi. Aku malah melewatkan kesempatan untuk menyentuhnya. Atau jangan-jangan dia cuman mampir saja."

Nampaknya, perempuan itu memiliki ruang khusus di secuil bagian hatinya. Emm tapi gimana Dita? Kakak tingkat yang menaruh perhatiannya di atas perempuan lain? Secepat itu kah dia lupa?

*Estrus=Birahi
***

Gue udah tiga bulan ngerasain kerasnya bangku kuliahan. Dan selama tiga bulan itu, gue belum pernah ngelihat perempuan cantik itu. Banyak perempuan cantik yang gue temuin di kampus. Tapi, enggak banyak perempuan cantik di kampus ini yang punya pesona luar biasa kayak dia.

Dia enggak cuman cantik, anggun, sejuk dan memukau, tapi, buat gue, dia sangat mempesona. Enggak semua perempuan cantik memiliki pesona. Enggak semua pesona perempuan cantik bisa menarik gue, tapi, dia bisa!
Gue terperosok dan terperangkap pada pesonanya.
Gue ingin  mengenalnya lebih jauh, lalu menjalin hubungan dengannya.
Gue yakin, gue bisa!

Semarang, April 2013

8 AM

Siang itu, cuaca sangat cerah. Panas menusuk. Sejuk tak kunjung rujuk.
Suasana kampus tidak seperti biasanya. Sepi, karena hari ini adalah hari libur. Perpustakaan yang selama ini menjadi pelindung mahasiswa yang kepanasan tertutup rapat. Tak ada kegiatan belajar mengajar. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang sibuk menggerakkan penanya menggoreskan tinta pada selembar kertas bertuliskan "laporan". Enggan sebenarnya, tapi mau.

Keringat bercucuran, baju hijaunya basah, celana hitamnya menusuk, panas menembus. Dia berjalan ke salah satu sudut kampus yang menjual susu kesukaannya. Ternyata buka. Entahlah, tak seperti biasanya, kedai susu ini buka saat kuliah libur.

Hanya sendiri melamun menunggu teman yang mengajak janjian di kampus. Sunyi. Sepi. Tidak ada tawa. Tidak ada ceria. Yang ada hanya diam. Yang ada hanya luka yang menghampiri lelaki pemakai baju hijau ini.

"Tang, mau pesan apa? Kayak biasa ya?"

Tara, pelayan kedai susu dengan pakaian miniset berbalut kemeja lengan panjang yang ditekuk sampai siku menghampiri lelaki berbaju hijau itu, yang baru saja duduk di bangku yang berada di sudut kedai. "Iya, kayak biasa ra, minum sini satu sama dibungkus satu, buat Dita"

Tara mengangguk mengerti dan segera berbalik badan menuju pantry. Tak lama kemudian Tara datang, dia duduk di sebelah Bintang.

"Adek lu gimana?"

"Baik"

"Pacar lu?"

Bintang hanya hening tanpa menjawab sepatah kata pun. Tara tak bertanya lagi.

***

Nama gue Tara, gue penjaga kedai susu di kampus. Gue punya pelanggan tetap. Bintang namanya. Dia udah pernah nyobain semua varian susu di kedai gue, cuman susu gue doang kali yang belum pernah dia dicobain. Oke, lupakan.
Ganteng sih orangnya, karismatik pula. Gue sih enggak bingung kalo sewaktu gue tanya tentang pacar yang selalu dia ceritain kalo lagi mampir ke kedai, dia enggak pernah jawab. Gue sih udah paham kebiasaannya. Waktu dia cerita panjang lebar tentang pacarnya saat tanpa gue tanya, berarti dia lagi baik-baik sama pacarnya. Emm waktu acuh gini, berarti mereka lagi ada masalah. Seringnya sih gitu. Kasihan Bintang. Padahal mereka baru pacaran selama enam bulan ini, tapi kayaknya mereka udah benar-benar ngerasain yang namanya cinta. Yaaah itulah anak muda, mudah mencintai. Tapi kayaknya Bintang agak kurang bahagia. Tapi entahlah, kenapa dia enggak memanfaatin kegantengannya buat cari perempuan lain yang bisa buat dia bahagia. Kayak gue ini :)

***

Balik lagi ke kedai susu, terlihat lelaki berbaju kotak-kotak khas gubernur ibu kota mendatangi kedai, Dio,  dialah yang mengajak Bintang untuk ketemuan di Kampus, menghampirinya dan berdiri di depannya. "Ayo, buruan packing, malam ini kita berangkat ke Bandung, gue udah beli tiket"

Bintang mengerutkan kening. "Malam ini? Tanpa persiapan gini lu mau ngajak gue pergi?"

"Besok malem, di Bandung ada festival kesukaan lu, gue sengaja bilang mendadak gini, sekalian bikin suprise ulang tahun lu yang kemarin gue belum sempet kasih apa-apa"

"Kenapa kita enggak ngendarain motor aja? Bisa dibatalin kan tiketnya?" Bintang bertanya penuh harap.

Dio menepuk bahu Bintang. "Kali ini kita jalan-jalan elegant, ini buat hadiah ulang tahun lu"

"Gue eneg kalo cuman duduk doang nikmatin perjalanaan, Di"

Dio tertawa. "Bukannya lu happy kalo jalan-jalan ke festival kesukaan lu itu dan lu enggak capek ngendarai motor?"

Bintang terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun. Dia bingung, antara ke festival kesukaannya yang diselenggarakan hanya setahun sekali itu atau menepati janjinya malam ini. "Jadi, gimana? Bisa?"

Bintang kembali terdiam dan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Bentar, gue telpon pacar gue dulu, gue ada janji sama dia malem ini"

***

Kalian bisa panggil gue Bintang. Bukan, itu bukan nama bokap gue. Tapi, kata Bintang itu berasal dari nama lengkap gue, Bintang Songgo Langit. Jarang banget ada orang yang mau panggil gue pake nama samaran gue, kakak ganteng. Padahal gue yakin, nama samaran gue bakalan ketahuan setelah pandangan mata diarahkan ke wajah gue. Tapi, entahlah, kayaknya gue terlalu terobsesi biar dibilang ganteng, makanya gue sering mengada-ada. Padahal, sebenernya mah iya, gue ganteng.

Untung di negara ini belum ada peraturan yang akan mendeportasi lelaki yang terlalu ganteng. Jadi, gue bakalan aman untuk sementara ini. Tapi, buat kalian yang mau daftar jadi permaisuri gue, sekaligus ngebuktiin kegantengan gue, siap-siap patah hati ya. Gue udah punya permaisuri soalnya.

Gue adalah mahasiswa yang paling alergi kalo denger kata laporan. Jadi, berhubung gue enggak mau alergi, gue bakalan ngejauhin sesuatu yang berbau laporan. Itu prinsip gue. Intinya, hal-hal yang akan ngerugiin gue, bakalan gue tinggal. Entah itu kegiatan, makanan, minuman, yah semuanya lah pokoknya. Begitu juga sebaliknya. Gue pernah dapet wejangan kayak gini bunyinya:

"Kalo lu nggenggam duri, pasti rasanya sakit. Tapi akan jadi lebih sakit lagi kalo lu terus menggenggamnya. Jadi, lepasin genggaman lu, biarkan duri itu terhempas, supaya rasa sakitnya sedikit berkurang"

Gue adalah sesosok lelaki yang sedang mencari jati diri. Lelaki yang enggan hanya berdiam diri menanti nasib. Gue suka traveling. Gue enggak tau kapan gue mulai menggeluti kesenangan ini. Traveling bukanlah hobi gue. Soalnya dulu sewaktu disuruh ngisi biodata, gue enggak pernah menyatakan kalo gue punya hobi traveling. Karena, pada zamannya dulu, traveling selalu identik dengan biaya mahal. Sebagai lelaki sejati, gue enggak akan memasukkan traveling sebagai daftar dalam hobi gue, itu lelaki!

Bintang Songgo Bumi

Semarang, November 2012

7 PM

"Gila lu"

Kejora tertawa, melihat raut muka sahabatnya, Dita, saat dia menghayalkan sesuatu yang sangat enggak mungkin terjadi. Termasuk saat dia membayangkan bahwa Dita menggandeng lelaki ganteng yang kemarin mereka lihat saat makan di food corner Fakultas Kedokteran.

"Kejora sayaaang, gue udah sama Bintang"

"Terus, apa salahnya? Kan gue cuman bayangin doang? Lagian lu lebih pantes sama cado itu, dari pada sama anak kemarin sore yang masih bau lengkuas itu Dit"

*Cado= Calon Dokter

Dita enggak menggubris pertanyaan Kejora. Dia masih sibuk dengan penanya. Ya, laporan. Ternyata asisten juga praktikan ya? Oke lupakan, sementara itu, Kejora yang sudah menyelesaikan tugasnya, mulai sibuk memainkan media sosial untuk mencari lelaki yang kemarin mereka lihat di FK.

*FK= Fakultas Kedokteran

"Dit, lagian lu baru tiga bulan sama Bintang aja udah belagu, kita itu masih dua puluh tahun keles, belum waktunya deh ngomong-ngomong pernikahan. Masih banyak kemungkinan yang bakalan terjadi"

"Kejora, gue udah bilang, gue udah sama Bintang. Gue sayang dia. Enggak mau yang lain. Gue mau nikah sama dia"

Yaaah, peperangan argumen diantara kedua sahabat itu tidak bisa terhindarkan. Mereka saling menggadu argumennya masing-masing. Tanpa ada perang dunia ketiga dan tanpa adanya perpecahan. Ya, mereka hanya beradu argumen. Hingga akhirnya Kejora mengalah.

"Dit, gue pulang dulu ya, capek gue"

"Yaudah sono pulang, hati-hati. Besok kumpulin laporannya bebarengan ya?"

"Oke"

Tak lama kemudian, ponsel Dita bergetar. Ada pesan singkat masuk. Dari Kejora. Karena sedang sibuk kejar setoran laporan, dia hanya membiarkannya. Dita masih sibuk dengan urusannya.

Tepat tengah malam, Dita baru kelar dengan urusannya. Kemudian, langsung mengambil ponselnya dan segera membaca pesan singkat dari Kejora. Pesan singkat itu berbunyi:

Dit, gue tau nama cowok berbaju hijau yang bulan lalu kita lihat di FK. Namanya Prabu Dika Wicaksena. Dia masih jomblo. Bener-bener ganteng deh. Yakin lu enggak mau? Kalo enggak mau, buat gue aja deh ya? Gue naksir deh sama dia!

Dita terbelolok membaca pesan singkat dari Kejora. Darahnya naik.

UDAH GUE BILANG, GUE ENGGAK MAU. GUE UDAH SAMA BINTANG, GUE MAU NIKAH SAMA DIA. UDAH, ITU SIAPA DIKA DIKA ITU, BUAT LU AJA DAH. SEMOGA BERHASIL YA!

Itu balasan pesan singkat yang dikirim Dita untuk Kejora.

Sebenarnya, itu adalah salah satu cara yang dilakukan Dita agar dia tidak terlalu terpikat oleh lelaki karismatik itu -Dika- yang membuatnya mati-matian menahan diri. Dika bukan laki-laki biasa. Ia memikat. Ia berbakat. Karismanya jelas terpancar dari wajah seksinya. Tatapannya, memikat wanita yang menatapnya tak bisa menghindar untuk ingin terpikat olehnya. Bakatnya memikat wanita. Tak terkecuali Dita. Tapi, dia menahan diri untuk tidak melangkah terlalu jauh. Cukup terpesona. Dika adalah sajian yang sangat lezat untuk mata. Tidak lebih. Tidak boleh lebih. Tidak akan menjadi lebih.

***

Nama gue Dewi Kadita Ranggasita . Lu bisa panggil gue Dita atau Dit. Panggil gue cantik juga boleh. Ngomong-ngomong, kata orang gue emang cantik, katanya sih, gue sendiri pun bingung dan enggak tau dimana letak sisi cantik dari diri gue. Mungkin karena gue emang cantik sama imut kali ya? Jadi, kemana pun gue melangkah, banyak yang merhatiin gue. Oke, omongan gue mulai ngelantur.

Tahun ini umur gue 20 tahun. Gue hobi jalan-jalan, tapi enggak jalan kaki juga ya. Mumpung masih muda. Yang gue tau, hidup di dunia itu cuman sekali, makanya gue bertekad bakalan mengelilingi dan mengunjugin tempat yang bisa manjain mata gue. Gue haus akan kesenangan dan keindahan alam.

Walaupun gue perempuan, tapi gue mencoba untuk mendidik diri gue supaya enggak manja. Buktinya, sekarang gue cuman hidup sendirian di kota yang sangat asing ini. Iya, gue disini kuliah, sementara orang tua gue jauh di provinsi seberang sono. Sebenernya bukan kehendak gue sendiri sih, cuman agak kepaksa sedikit, tapi ini bukan saatnya untuk mengeluh, lupakan!

Tiga bulan belakangan ini gue selalu ditemenin sama pangeran gue. Bintang, dia pacar pertama gue yang bisa bertahan selama tiga bulan ini. Mungkin bakalan lebih. Gue bakalan pertahanin mati-matian cinta gue kepadanya.

Sekarang gue lagi sibuk menjalankan kehidupan baru gue sebagai mahasiswa semester 3 di salah satu perguruan tinggi negeri yang terletak di Kota Semarang.

Dewi Kadita Ranggasita
Foto pinjem betamanise.wordpress.com

Gunung Kidul, 15 Agustus 2013

3 PM

"Bidadari itu... kemana dia pergi? Bukankah tugas bidadari adalah menghibur yang sedang terpuruk? Kayak gue gini. Tapi... percuma lah, gue belum sempat mengenalnya"

"Kejora, lu capek enggak?" Suara lantang keluar dari mulut lelaki gagah itu.

"Lumayan capek sih, tapi enggak apa lah" Merdu sekali suara yang terdengar dari bibir mungil memabukkan itu.

"Lama juga ya kita berkendara di atas motor?" Ah, karismatik sekali suaranya. Jelas lah, suara ini tidak mungkin berasal dari mulut lelaki yang masih bau lengkuas.

"Lama banget kali, jam sebelas dari Semarang dan baru sampek di Pantai Krakal jam tiga. Empat jam kita di atas motor"

"Iya sih, tapi ini kan kita masih di parkiran, percaya deh sama gue, nanti kalo kita udah ke bibir pantai, 4 jam tadi di jalan, dibayar tuntas deh, keren banget pantainya, capek lu bakalan ilang deh" Omongannya tampak sangat mengagumkan. Meluluh lantahkan pertahanan tebal dinding hati Kejora.

"Iya deh, gue percaya sama lu. Yaudah ayo buruan kesana ah"

Setelah percakapan kecil di parkiran itu terjadi, mereka berdua langsung menuju ke bibir pantai. Tanpa backpack, tanpa jaket dan tanpa bawaan yang memberatkan mereka. Mereka cuman bermodalkan kamera pinjaman.

Lalu, backpack, jaket dan barang bawaan mereka berdua kemana ya? Tenanglah, mereka berdua enggak bodoh-bodoh amat kok. Mereka sengaja memarkirkan motor di tempat parkir yang harus ngeluarin biaya tambahan lagi sekitar dua ribu untuk sekali parkir. Kemudian, mereka menitipkan barang bawaannya pada penjaga parkir liar tersebut. Tenang saja, aman kok! Yaah walaupun pada tiket masuk yang mereka beli seharga 3 kotak kondom rasa pisang tadi di pintu masuk, udah diterangkan bahwa parkirnya gratis. Tapi, tak apalah, dengan adanya parkir liar tersebut meringankan bawaan mereka untuk melihat indahnya Pantai Krakal ini.
*3 kotak kondom rasa pisang = Rp10000

Pantai Krakal adalah pantai eksotis yang terletak di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta. Pantai selatan ini memiliki pasir pantai yang berwarna putih. Krem sih sebenarnya, tapi jamak dibilang pantai pasir putih.

Kalian tau "Tanah Lot" yang ada di Bali sono? Ya, kekira seperti itulah rupa dari Pantai Krakal ini. Beda sih, tapi tetep aja ada yang namanya "Lot" di Pantai Krakal ini, makanya gue bisa bilang kalo mirip sama tanah lot yang ada di Bali sono. Tapi, Pantai Krakal ini "lot"-nya lebih bebas dari pada Tanah Lot yang ada di Bali, semua orang boleh menginjakkan kakinya disini. Termasuk orang najis kayak gue ini, boleh kok! Apa lagi kalian para gembel kece, karangnya malah manggil-manggil buat disamperin.

"Kejora, kayaknya yang orang bilang kalo misalnya penat, terus lihat yang hijau-hijau biar enggak penat lagi itu enggak sepenuhnya bener ya?"

"Iya, ternyata warna biru juga bisa. Ini keren banget. Gue enggak nyangka, ada ya yang kayak beginian di Indonesia"

Ya, Indonesia memang memiliki banyak tempat indah yang belum terjamah. Belum terekspose. Betapa indahnya negeri ini. Betap mengagumkannya tanah Indonesia. Kalo gue boleh bilang, di luar negeri itu wisata alamnya udah digali mentok sampai kisaran angka 70%. Tapi, Indonesia yang wisata alamnya baru digali sekitar 10% aja keindahannya enggak kalah kok sama yang 70%. Gimana kalo Indonesia udah bisa mencapai angka 70%? Luar negeri, enggak ada apa-apanya. Putus.

***

Angin berhembus kencang. Ombak menerpa karang. Tangan menarik kutang. Mulut mengulum pisang. Terik tak terrasa sekarang. Sekarang yang ada hanya Bintang dan Kejora yang sedang menikmati indahnya Indonesia. Tanpa orang lain, tanpa pengganggu, dunia milik mereka.

Dari atas "lot", mereka bisa menyaksikan ganasnya ombak pantai selatan, birunya laut gunung kidul, kencangnya angin laut yang menerpa. Indah sekali. Tinggi. Biru. Kata Cherrybelle "Istimewa". Namun, tak hanya laut yang mengusik pandangan mereka. Dari sini mereka bisa menyaksikan pemandangan pantai lain. Pantai Sundak dan entah apa nama pantai satunya. Tampak dari kejauhan, disebelah kiri mereka, Pantai Sundak sudah banyak yang mengantri menanti fenomena terbenamnya matahari yang terkenal keindahannya itu. Sementara di kanan mereka, tampak seonggok pantai yang hanya terdapat sepasang kekasih yang sedang menikmati hamparan pasir putihnya. Ya, itulah tujuan mereka selanjutnya, setelah ini.

"Jora, lu masih inget rasanya terbang?" Pertanyaan yang sangat membingungkan untuk dijawab Kejora ini keluar dari mulut lelaki yang gemar traveling ini.

"Hah? Terbang? Lu kira gue kelelawar bisa terbang hhaaa :D " Tawa lepas menampakkan rona kebahagiaan muncul menghiasi muka bidadari ini.

"Lagaknya lu udah lupa ya gimana rasanya jadi bidadari? Setelah sayap lu enggak ada, lu udah lupa ya rasanya terbang?"

"Maksudnya? Gue bingung Tang"

Tanpa sepatah kata pun Bintang menarik tangan Kejora hingga kini keduanya berdiri tepat di tepian batu karang besar ini. Bintang berada di belakang serta Kejora ada di depannya.

"Iya, kamu itu bidadari yang diturunin ke bumi, tapi sayapnya enggak ada. Gue percaya dan yakin, kalau kamu adalah perempuan yang saat itu gue lihat dan saat itu pula gue terkagum-kagum Jora" Seraya pelukan mulai menghujan tubuh Kejora.

"Hah kapan Tang? Bukannya bidadari lu selama ini Dita?" Ah, pertanyaan itu membuyarkan suasana. Pertanyaan yang membawanya kembali pada luka sayatan yang masih membekas.

"Bukan, seharusnya kamu Kejora, dan emang semestinya begitu" Tangan kedua pasang insan yang sedang dimabuk asmara itu, kini semakin erat yang kemudia mendekap tubuh mungil Kejora.

Manusia pengunjung Pantai Krakal tampak amat sangat kecil dari sini. Sayang, Bintang dan Kejora belum sempat mengukur ketinggian lot Pantai Krakal. Jadi, jikalau ditanya berapa ketinggian lot Pantai Krakal, mereka kurang paham. Yang jelas, mereka meyakini kalo ada orang yang enggak sengaja ngijek krikil terus kakinya kesakitan, lalu jatuh ke bawah, mereka yakin kalo orang itu bakalan mati.

Angin masih berhembus kencang saat sejoli itu mulai merentangkan tangan mereka lebar-lebar. Angi selatan menerpa tubuh mereka. Semilir...

"Kejora, renatangin tangan lu, selebar yang lu mampu!" Wussss.....

"Ini yang kamu sebut terbang Tang?"

"Iya. Kejora aku sayang sama kamu!" Ah Bintang berubah 180 derajat, dia sudah nampak tidak malu-malu untuk mengungkapkan kalimat itu.

Selain memandangi keindahan alam, kalian juga bisa menikmati permainan yang kata orang-orang adalah permainan pemacu adrenali. All Terrain Vehicle. Atau yang jamak disebut sebagai ATV. Tapi sayang, berhubung mereka backpacker gembel yang duitnya pas-pasan, menaiki kendaraan segala medan tersebut adalah salah satu hal yang sangat sulit dilakukan. Bentrok dengan duit! Yaudah, dari pada mikirin bentrok-bentrok, mendingan simak yang ini aja deh!






4.00 PM

"Ternyata, bidadari yang selama ini gue cari ada di deket gue. Ternyata, bidadari yang selama ini gue cari cuman menganggap gue sebagai anak kemarin sore yang masih bau lengkuas"

"Ini namanya secret beach Tang! Cuman ada kita berdua!"

"Iya, Kejora, berasa ini pantai punya kita ya?!"

Pantai yang terletak sekomplek dengan pantai krakal ini memang sepi pengungjung. Enggak setenar Tanah Lot-nya Gunung Kidul. Enggak setenar Pantai Sundak. Tapi, keindahannya enggak kalah. Tak ada manusia lain kecuali mereka. Tak ada pengganggu. Ini benar-benar secret beach. Yang ada hanya karang menjulang. Pasir putih terang. Laut biru membuat melayang. Mendayu-dayu menikmati deburan ombak yang menerpa karang, terdengar kencang. Ditemani gerombolan pasir putih, angin spoi-spoi. Tanpa sadar, dari mulut Kejora terucap "Bintang, ini namanya quality time!"

Bintang hanya terkejut. Yang terrasa hanya jantung yang berdenyut. Pembuluh darah mengkerut. Kening diparut-parut. Kemudian, mereka saling menatap. Mata mereka menempel. Tanpa ada sepatah kata yang terucap. Setelah itu mereka...

***Eiiiit, sensor!***

Bibir saling menempel. Lima menit... sepuluh menit... masih menempel. Terlihat dua gundukan indah yang sengaja Tuhan ciptakan sebagai mahkota para wanita yang menggantung disela-sela keduanya. Mereka memejamkan mata. Mereka sedang terbuai asmara. Menikmati cinta. Menumpah ruahkan rasa kasih sayang. Membawanya ke dalam dunia nyata. Pasangan tersebut terkejut melihat keberadaan Bintang dan Kejora yang sedang asik bekejaran dan mengabadikan momen indah di secret beach ini. Jadi, seperti yang mereka lihat, pemandangan yang tak asing didapat di tempat indah nan sepi ini adalah pasangan yang sedang terbuai asmara. Menikmati alam. Menikmati cinta. Menikmati suasana. Bukan, itu bukan nafsu. Tapi, ungkapan cinta. Ungkapan sayang.

4.30 PM

Matahari mulai terbenam. Menampakkan keperkasaan buratan cahayanya. Menunjukkan tajinya agar segala perhatian terlimpah ruah padanya. Kedua pasangan tersebut telah berdiri menanti momen indahnya. Suasana sangat ramai. Berbanding terbalik dengan pantai yang mereka sebut sebagai secret beach tadi. Karakternya tidak jauh berbeda. Pasir putih. Laut biru. Karang menjulang. Angin menampar. Nampaknya, keempat hal tersebut akan sangat mudah ditemui di garis pantai selatan ini.

Pantai Sundak memang terkenal dengan pesona memikat terbenamnya ciptaan Tuhan ini. Mereka adalah salah dua dari jutaan orang yang telah terhipnotis ingin menikmati dan melihatnya. Pengalaman Bintang membuat Kejora memaksa ingin melihatnya secara real. Ini adalah kesempatan pertama Kejora untuk menikmati kegiatan yang dinamai sunset di Pantai Sundak ini. Sementara Bintang, ini adalah kedua kalinya. Entahlah apa yang ada di pikiran Bintang. Mengapa dia ingin mengulang momen indah yang pernah dia jumpai sebelumnya. Padahal, jarak waktunya tak berjauhan. Mungkin, inilah pesona Pantai Sundak. Membuat siapapun yang pernah melihatnya, ingin dan terus ingin menikmati keindahannya lagi dan lagi.

Sayang, bukan, ini bukan percakapan antara Bintang dan Kejora. Tapi, ini adalah ungkapan yang semestinya muncul. Iya, sayang, momen sunset kali ini tak seindah yang dijanjikan Bintang. Matahari yang mulai terbenam sedang beradu untuk mengalahkan keganasan awan yang menghalanginya agar dapat memamerkan pesonanya. Sial, matahari memilih mengalah dan menyembunyikan pesonanya. Momen indahnya tidak terbentuk. Awan seakan lebih perkasa menutupi pesona matahari. Oke, kali ini awan menang!

Tak ada yang harus disesali. Gue tau, Indonesia itu keren. Indonesia itu Indah. Kadang, kalo gue lagi di balkon, sunset yang enggak jelas pun kelihatan Indah. Yang enggak direncanakan untuk melihat matahari terbit di pagi hari pun, kadang indah. Ya, gue rasa dimana pun gue berada, kalo gue mau nikmati alam, gue yakin, selama itu masih di Indonesia, gue yakin, selamanya akan selalu Indah dipandang mata. Yang membuatnya menjadi beda adalah keangkuhan awan. Yang terkadang menyembunyikan keindahan di baliknya. Keangkuhan cuaca. Yang terkadang menghalangi sejenak untuk menyaksikan pesona alam Indonesia. Atau malah, menghalangi dalam kurun waktu yang lama. Oke, lain kali kita sambangi lagi.

Nih cuman beginian nih Pantai Sundak-nya, lumayan lah bisa manjain mata! Disimak!





8 PM

"Pantai kalo malem berubah jadi dingin ya Jora?"

"Iya, untung kamu bawa selimut Tang"

"Ah lagian kalau aku enggak bawa selimut kan masih ada aku" Ah Bintang rupanya mulai centil.

"Hah ada kamu Tang? Maksudnya?" Duh, nampaknya Bintang salah sasaran. Kejora mana paham masalah beginian. Dia terlalu polos.

"Ah gini, kan jadi ada aku yang bisa cari pinjeman selimut ke rumah warga gitu maksudnya" Kepalang basah, Bintang terbata-bata mengungkapkan kalimat tersebut. Mukanya memerah.

Angin malam beda dengan angin pagi maupun siang. Apalagi di pantai. Dinginnya enggak nahan. Tak banyak orang yang bermalam di sini. Rencana bermalam di sini pun hanya terkelibas saat menikmati segarnya kelapa muda tadi sore. Kalau rencana awal sih mereka ingin bermalam di Yogya, bukan di Pantai Sundak ini.

Seperti biasa, mereka adalah traveler yang tidak pernah merencanakan segala sesuatunya secara matang. Boleh dikata modal nekat. Tapi, menurut mereka, hal seperti itulah yang membuat perjalanan semakin memiliki sensasi tersendiri. Mungkin karena mereka adalah dua sosok pasang manusia yang memiliki tingkat fleksibilitas diatas rata-rata. Jadi, ketidak matangan rencana perjalanan bukanlah masalah buat mereka.

Sebenarnya, bukan itu saja alasan mereka untuk bermalam di Pantai Sundak ini. Tapi, ada hal lain. Kata teman Kejora, hal yang sangat menarik dan menakjubkan yang ada di pantai ini salah satunya adalah fenomena terbitnya matahari. Yang jelas, terjadi saat pagi hari. Oleh karena rasa penasaran itu, akhirnya mereka berasa ingin menikmatinya. Tapi, lagi-lagi hal tersebut adalah sesuatu yang diluar rencana. Mereka belum pernah merencanakan hal ini sebelumnya. Hanya spotanitas semata.

Kembali ke topik. Pantai Sundak malam tak seseram yang dibayangkan. Tak ada ular. Tak ada kelelawar. Tak ada wanita yang sedang ditawar. Sunyi. Hanya deburan ombak yang menjadi penghias. Tak ada cahaya yang temaram. Semuanya terang. Lampu warung yang pagi hingga sore menjajakan jajanan khas pantai pun tetap menyala. Walaupun tak ada transaksi. Hanya ada beberapa orang yang memang ditugaskan untuk menjaga tempat mencari mata pencaharian tersebut. Hingga akhirnya, mereka pun tertidur pulas di atas sebuah gazebo yang telah mereka sewa sebelumnya.

Pengalaman menjadikan seseorang menjadi berpengalaman. Ya, Bintang jadi punya sedikit pengalaman yang bisa dia tularkan atau bahkan dia manfaatkan sendiri ketika mengunjungi Pantai Sundak ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah masalah perut. Ya, Bintang telah paham bahwa makanan yang bisa membuat perut mendesak, yang di jual di Pantai Sundak ini harganya bikin meledak. Tak kurangan akal, mereka pun membeli makanan yang bisa menyesakkan perut. Mereka membelinya di sebuah rumah makan padang saat perjalan menuju ke Pantai Sundak ini. Hingga akhirnya, suasana makan yang enggak mainstream mereka dapatkan disini. Berhubung Bintang sedang melaksanakan ritual, yang mengharuskan untuk tidak makan dan minum sedari matahari terbit hingga matahari terbenam, maka mereka baru menyantap bekal makanan mereka setelah matahari terbenam. Disaat itulah para pengunjung pantai eksotik ini mulai berkurang. Menambah keromantisan makan malam mereka. Makan malam di pantai. Ditemani cahaya rembulan. Diiringi nyanyian ombak. Disejukkan angin laut. Ini bukan candle light dinner. Jadi, tak ada lilin, penyanyi dengan suara keren berlandaskan lagu romantis menye-menye, air conditioner yang dingin. Tidak, itu mainstream. Makan malam di temani temram bulan. Nyanyian merdu dengan suara garang dari ombak. Angin semilir khas pesisir.  It's a romantic moment. No mainstream!

 


12 AM

Tengah malam, angin berhembus. Dingin menjadi teman. Kejora tertidur pulas dibawah selimut. Sementara Bintang, tidur berlindungkan jaket tebal di sisi yang berlawanan dengan Kejora. Sesekali mereka terbangun untuk menikmati malam di pinggir pantai. Tak banyak orang yang singgih di pantai ini pada malam hari. Hanya ada beberapa gerombol muda-mudi yang sedang berbincang, bercengkrama, teriak-teriak menemani tidur mereka yang bisa dikatakan kurang nyenyak.

Jangan menyamakan tidur di pantai dengan selimut tebal memiliki kenyamanan yang sama saat tidur di kamar tanpa selimut. Itu berbeda. Sensasinya beda. Dinginnya beda. Tak ada persamaan diantara keduanya. Terlebih, ketika hujan turun. Tak ada atap yang memadai untuk menghalangi tangisan langit tersebut. Sialnya, itu yang mereka rasakan. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali merubah posisi hingga keduanya tak terkena percikan hujan. Itulah sensasinya. Mereka jadi bekerjasama mengatur posisi yang aman dan nyaman. Akhirnya mereka bisa. Ya, dalam perjalanan yang mereka cari bukan hanya masalah destinasi semata. Tapi, mereka bisa belajar betapa menyenangkannya melakukan kerjasama. Betapa menyenangkannya belajar mengatur keuangan. Betapa menyenangkannya mengatur sebuah rencana. Walaupun mendadak. Jadi, perjalanan itu, menurut mereka bukan cuman masalah destinasi semata. Tapi, miniatur kehidupan!

"Aku enggak pernah Tang ngerasain suasana yang kayak gini" Hanya pasir putih yang menjadi saksi bisu ungkapan Kejora ini. Bintang masih terdiam.

"Iya, aku enggak nyangka, kalau ternyata dengan perjalanan sekecil ini, aku jadi tau apa itu arti hidup. Enggak selamanya hidup itu mencari uang yang digunakan untuk membeli sebuah kebahagiaan. Aku sadar, bahwa ternyata kebahagiaan itu enggak bisa dibeli. Tapi, kebahagiaan itu harusnya dicari" Panjang lebar Kejora mencurahkan isi pikirannya.

"Teruskan!" Dengan nada sok ganteng, Bintang mempersilahkan Kejora menyelesaikan omongannya.

"Aku jadi teringat rumah Tang. Selama ini, orang tua ku hanya memberi uang. Aku pikir enggak cuman itu yang harusnya mereka beri padaku. Kedua orang tua ku sibuk. Iya, sibuk mencari barang yang namanya uang. Mereka pikir aku bisa bahagia hanya karena sebuah uang. Aku sempat kecewa dan menyesal Tang. Aku membenci mereka. Mereka hanya memberi ku uang, tanpa kasih sayang. Mereka pikir, hanya uang yang bisa membuat aku bahagia. Aku sedih Tang" Panjang lebar kembali Kejora mengungkapkan isi hatinya.

"Terus apa masalahnya?" Bintang mulai mengorek masalah.

"Masalahnya kenapa aku malah membenci mereka, kenapa aku malah kecewa, kenapa aku menyesal!" Kejora mulai tersadar sepertinya.

"Iya, kenapa kamu harus seperti itu Kejora. Enggak baik mengatakan seperti itu kepada kedua orang tua yang jelas-jelas udah ngelahirin kita. Sekarang kita udah hampir dua puluh tahun. Bukan saatnya kita bermanja-manja lagi. Inget kan kata-kata mu tadi? Kebahagiaan itu enggak bisa dibeli, tapi harus dicari. Beruntunglah kamu Kejora. Harusnya kamu sadar, kalau sebenarnya orang tua mu tidak sedang membeli kebahagiaan kamu, tapi mereka memerintah mu untuk mencari kebahagiaan itu" Kata Bintang menengahi permasalahan Kejora. Kejora masih terdiam.

"Apa iya, dengan yang kamu katakan mereka "hanya" memberi mu uang, mereka pikir tidak memberi perhatian terhadap mu? Bukankah itu merupakan sebentuk kecil dari perhatian? Bukan kah itu sebentuk kasih sayang?"

"Iya Bintang, aku baru sadar. Tidak seharusnya aku membenci mereka. Mungkin mereka pikir, aku udah mulai dewasa. Biarlah aku tau bagamiana caranya mencari kebahagiaan. Biarlah aku tertatih untuk mencari bahagia. Karena bahagia itu enggak melulu soal uang"

Yah, nampaknya pasir putih yang menjadi saksi bisu percakapan mereka tidak memahami sepenuhnya apa yang mereka bicarakan.

Oke, buat kalian yang merasa orang tua kalian hanya memberi uang tanpa memberi kasih sayang, cobalah kalian pergi menjelajah dunia ini dengan uang pemberian orang tua kalian. Niscaya kalian akan tau apalah itu artinya kasih sayang, apalah itu artinya bahagia. Karena dengan melakukan perjalanan, entah kemanapun itu, ada saat-saat dimana kalian merindukan rumah, merindukan orang tua yang kata kalian itu sibuk cuman cari uang, pasti ada perasaan itu. Kemudian resapi, renungkan. Ya, itulah arti bahagia dan kasih sayang. Sisempel itu kah? Iya, karena bahagia dan kasih sayang memang mudah. Tergantung dari mana kita memandangnya.


Duh kok Bayu sih? Harusnya kan Bintang!

5 AM

Tak ada ayam berkokok saat pagi menjelang. Karena memang disini tak ada yang piara ayam. Tak ada adzan subuh yang terdengar, karena masjid disini nampak tak terurus. Mereka terbangun. Karena, langit menangis lagi. Layar hp menunjukkan angka 4.45 yang kemudian mereka berdua tersadar untuk segera melakukan kewajiban mereka sebagai muslim. Hal lain yang tak terlupakan adalah momen yang mereka tunggu hingga mereka bermalam disini. Sunrise. Yang artinya hanya beberapa menit lagi, mereka dapat menyaksikan lukisan indah Tuhan pertama dipagi ini. Sayang, hingga pukul 6 pun mereka gagal mendapati keindahan momen yang telah menghinggapi rasa penasaran mereka.

"Tang, lain kali gue mau kesini lagi. Masih penasaran sama sunrise yang katanya keren ini" Letupan kekecewaan namun tetap tegar dan penuh harap keluar dari mulut Kejora. Yang kemudian disanggupi oleh Bintang. Permintaan Kejora inilah yang akhirnya mengakhiri serangkaian perjalanan mereka di Gunung Kidul.

Akhir perjalanan bukan berarti akhir dari segalanya. Bukan berarti perjalanan kita terhenti setelah ini. Seenggaknya, kita masih bisa berharap, semoga masih ada cerita indah di perjalanan kita selanjutnya. Cerita keindahan alam Indonesia.

Traveling bukan perkara datang, senang-senang, pamer kutang, foto-foto, lalu pulang. Banyak hal positif yang bisa dilakukan setelah menjalani berbagai perjalanan. Mari kita promosikan Indonesia sebisa dan semampu kita. Lewat celotehan 140 karakter di twitter kek. Lewat upload ratusan foto di instagram kek, path atau facebook mungkin. Atau lewat ketikan enggak penting macam beginian. Let's travel and document that! Let's promote how beautifully Indonesia! How amazing my country!

Yogyakarta, 16 Agustus 2013

Siapa yang tak kenal Yogyakarta? Ya, daerah ini adalah salah satu daerah yang memiliki keistimewaan di negeri ini yang ditilik dari namanya. Daerah Istimewa Yogyakarta. Tempat yang menjadi tujuan pariwisata dari bebagai daerah di Indonesia, bahkan dunia. Tempat yang tak pernah kehilangan kreatifitas warganya. Kota yang selalu memiliki daya tarik untuk selalu dikunjungi. Kota yang tak pernah kehabisan penggemar. Tak seperti boyband dan girlband zaman sekarang, yang penggemarnya semakin berkurang. Kota yang memiliki wisata yang memang keren. Amazing!

Perjalanan dari Gunung Kidul menuju Yogyakarta membutuhkan setidaknya 2 jam perjalanan darat. Tak banyak waktu yang mereka gunakan untuk menikmati Jogja pada siang hari. Siang hari hanya mereka gunakan untuk membayar hutang tidur semalam. Rencananya, mereka hanya akan menikmati pemandangan Jogja malam. Bukan siang, ataupun sore.

Kawasan Universitas Gajah Mada dan Alun-alun kidul lah yang menjadi teman mereka malam itu. Oh ya, dan tukang tambal ban. Rada aneh, ganti ban dalam dan tanpa tambahan lain. Biayanya seharga 5 kondom rasa pisang bersilikon. Bangsat! Tak apalah, ini namanya hidup, kadang ada senang ataupun duka. Kadang ada untung, kadang ada rugi. Kalau kata orang zaman dulu mah, kalo ban kempes, berarti lagi di slametin dari yang namanya kecelakaan.

Tak banyak yang dapat mereka lakukan di kawasan UGM. Hanya duduk-duduk cantik sambil memainkan kamera. Sebagai akademisi yang tak memiliki kepentingan apapun, hal yang tak boleh dilupakan ketika mengunjungi suatu kota adalah ketika bisa mengucapkan "O...ini to UGM" lalu kemudian membandingkannya dengan universiatasnya yang kemudian terlontar "UGM kok gede banget ya, luas banget, banyak pohonnya, adem (dan lain-lain yang bagus-bagusnya doang" "Beda ya kayak kampus kita... bla... bla... bla..." Oke, hal yang enggak boleh ditiru! Membanggakan milik orang lain dan menghujat milik sendiri! Jangan ditiru!

Ternyata perjalanan ke UGM enggak sia-sia. Gue jadi tau. Ketika gue punya pasangan, enggak seharusnya gue membandingkan sisi buruk pasangan gue dengan sisi baik perempuan lain! Itu enggak adil! Setiap Individu, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing! Hal lain yang gue peroleh adalah "Perempuan itu kayak barbie. Jadi, mau lu mainin sesuka hati lu, itu bukan jadi masalah. Tapi inget, lelaki sejati enggak mainan barbie"

Kembali ke topik. Ada misteri yang terbangun di Alun-Alun kidul kota Yogjakarta ini. Misteri beringin kembar. Barang siapa yang bisa berjalan membentuk garis lurus melewati jalanan yang diapit oleh beringin kembar dengan mata tertutup, maka, hatinya bersih. Kalo melenceng, ya berarti hatinya melenceng.

"Bintang, aku yakin, kamu orang yang baik, coba buktiin ke aku!" Suara cempreng keluar dari mulut Kejora.

Berhubung gue penasaran dan tingkat keyakinan gue yang bener-bener yakin. Dan gue yakin kalo hati gue bersih karena gue yakin kalo gue orang baik. Dengan lantangnya tanpa sadar, gue menerima tantangan Kejora "Aku buktiin nih kalo hati aku emang bersih, lihat ya!"

Tapi, selama 3 kali percobaan yang gue laluin, gue selalu melenceng. Bukan, bukan karena gue enggak baik dan melenceng. Tapi, karena gue orang baik yang enggak mau nyombong, makanya gue sengaja jalan melenceng supaya orang-orang enggak terlalu terkagum-kagum sama pesona gue.

Dieng, 17 Agustus 2013

Tak banyak yang dapat mereka lakukan saat di Yogyakarta. Hanya sedikit. Namun, perjalanan mereka belum berhenti hanya sampai sini saja. Nampaknya mereka masih penasaran sama yang namanya sunrise. Itu tuh matahari terbit. Katanya di desa tertinggi di Jawa Tengah, yang terletak di daerah Dieng. Bisa ngelihat sunrise yang indahnya melebihi paha dan dada Manohara, punya Miyabi pun kalah indah, katanya. Ini katanya loh ya, gue belum pernah ngelihat soalnya.

Perjalanan dari Yogyakarta menuju ke dataran tinggi Dieng enggak jauh-jauh amat kok. Mungkin cuman dibutuhin 4 jam perjalanan darat untuk menikmati dinginnya dataran tinggi tertinggi di Jawa Tengah ini. Asli dingin banget.

Kita sampai Dieng udah jam 3 sore. Cukup melelahkan (Baca: Sangat melelahkan). Tapi, udara sejuk dan hawa yang sebegitu menenangkan menghilangkan lelah di perjalanan. Dieng laksana kahyangan. Negeri di atas awan bukan cuman dongeng. Itu kenyataan. Gue bisa ngelihat dengan jelas kalo negeri di atas awan itu letaknya di sini. Bukan di luar negeri. Indonesia punya. Ini sangat menakjubkan. Kata Miyabi "Ah... ah... ah" yang artinya surga dunia.

Tak banyak yang bisa kita lakukan hari itu. Kita hanya mengunjungi telaga yang namanya Telaga Warna. Gue kira, ada warna pink di telaga itu. Kayak warna dalemannya Miyabi di film dia yang pertama kali gue lihat. Ternyata gue salah. Enggak ada warna unyu begituan. Cuman ada warna hijau, kebiruan, jernih sama coklat aja. Tapi, gue enggak nyesel pernah ngunjungin tempat ini. Bener kata orang, Miyabi kalah indah. Miyabi kalah semok. Miyabi kalah menawan. Kalah mulus juga tentunya. Luar biasa. Menakjubkan.

Sebenarnya, kita masih betah mengelilingi tempat eksotik ini. Tapi karena batre kamera yang terlanjur habis. Yang kemudian memaksa kita untuk menambah perbendaharaan batre. Sekaligus menyiapkan fisik. Karena besok, kita bakalan menerjang dinginnya Dieng di pagi buta. Enggak cuman pagi hari, tapi pagi buta. Tepatnya pukul 3.30 WIB.

Oleh-oleh dari Telaga Warna, silahkan dikunyah-kunyah!








Dieng, 18 Agustus 2013

3.30 AM

Pagi itu, ayam belum bangun. Hawa super dingin sudah tak bisa lagi ditolelir kulit. Jaket dan selimut penghalang pun kalah. Bagai kutu yang ditancapkan pada es balok. Gue enggak tau, suhu saat itu berapa. Yang jelas, gue udah pake baju rangkep 3 dan berlengan panjang. Lalu, berlapiskan selimut tebal. Sementara Kejora, berbaju rangkep 2 berlengan panjang dilapisi jaket parasit tebel dan selimut tebal. Kita semua masih kedinginan. Tak ada sedikitpun kehangatan. Mungkin, rasanya kayak orang yang udah kelamaan jomblo. Hatinya udah beku. Dingin. Tinggal nunggu pecah. Iya, kayak gitu.

Sengaja, kami keluar sebelum ayam bangun. Perjalanan dari penginapan sampai Bukit Sikunir cuman 30 menit. Yang udah kita survei dulu pada hari sebelumnya. Yang artinya, kita bakalan sampai di puncak Sikunir jam 4.20. Niatnya biar kita bisa jadi orang yang paling awal menginjakkan kaki di suatu bukit yang dinamai Bukit Sikunir itu. Bukit dimana kita akan menyaksikan lukisan tuhan pertama di hari ini. Bukit yang memiliki ketinggian yang gue tau dari google lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut. Bukit yang terkenal dengan sebutan golden sunrise. Bukit yang dari atasnya kita bisa menyaksikan puncak 3 gunung sekaligus. Slamet, Sindoro dan Sumbing. Takjub gue.

Dieng berada pada kekira 1500 meter diatas permukaan laut. Yang itu artinya kita cuman butuh mendaki keatas sepanjang 500 meter. Ahh...itu mah gampang. 500 meter doang mah kecil. Sambil jalan jongkok atau ngesot juga gue mampu kok. Kecil. Oke, gue bakalan salut sama orang yang berani bilang gitu. Walaupun cuman 500 meter ke atas. Nyatanya 1 kilo. Kita harus mengikuti jalur pendakian yang berkelok itu. Melawan hawa super duper dingin. Melawan kegelapan. Melawan rasa lelah dan kantuk. Itu perjuangan. Ini bener-bener perjuangan yang benar-benar berjuang. Tapi santai, perjuangannya enggak ngelebihin untuk dapetin pacar kok mblo!

View menuju Bukit Sikunir kayak gini nih sekiranya

Nah ini dia jalanan yang bakalan ditempuh rupanya kayak gini

"Tang, aku capek, gendong! Katanya kamu sayang sama aku. Coba buktiin. Dari pada nanti kita sampek atas keburu jadi sunset. Gagal kan kita?"

"Berhubung aku lelaki sejati yang dengan jelas dan tegas mengatakan kalo aku sayang sama kamu, sini aku gendong!" (Ini agak lebay dikit ya)

Dengan kekuatan bintang dan bulan yang memang masih menemani perjalanan kita pagi itu. Gue peluk Kejora dan akhirnya gue gunain kebatinan gue. Akhirnya kita sampai Puncak Sikunir tepat sesuai perkiraan. 4.20 WIB. Gue kira, kita orang pertama yang menginjakkan kaki di sana. Ternyata enggak. Sikunir udah terkenal. Sikunir udah tenar. Tempat udah penuh. Kita cuman geleng-geleng dan pura-pura enggak tau ada orang di belakang tempat yang kita pilih. Sambil tetap berlindung dengan yang namanya kedinginan. Dan pura-purra enggak tau kalo ternyata kita menghalangi mereka. Otak licik gue emang keluar. Tapi, inilah tempat strategis untuk menyaksikan keindahan alam dari atas Bukit Sikunir, Dieng. Ya, walaupun gue denger sedikit celaan dari mereka. Tapi, tak apalah mereka ternyata baik. Mau mengalah. Ini namanya menghargai sesama, walaupun gue agak enggak menghargai mereka. Yaaah ini namanya toleransi dan intoleransi. Lagi-lagi gue belajar miniatur kehidupan disini.

Orang yang intoleransi terhadap kita. Apakah harus dibalas dengan intoleransi pula? Enggak kan?

Gue belajar dari orang yang seharusnya duduk menikmati keindahan di depan gue. Tapi, jadi gue belakangin. Walaupun gue enggak kenal mereka. Yang kemudian gue ketahui mereka adalah orang-orang Bandung. Yah, gue mau berterimakasih sama mereka. Karena udah ngasih sedikit tempat buat kita. Walaupun akhirnya tempat yang kita tempati juga jadi rebutan orang lain untuk berfoto ria. Yaaah ini artinya gantian gue yang harus bertoleransi :)

4.20


4.25

Duh, gue enggak hapal jam berapa aja foto setelah ini diambil, jadi nikmati aja ya :)     





































9 AM

Dieng cuman gitu doang? Tentunya enggak. Perjalanan kita belum usai. Hari ini adalah hari terakhir dari serangkaian perjalanan yang tanpa sengaja membentuk huruf "Y" kalo diimajinasikan dalam peta. Oke itu enggak penting. Mari kita lanjutkan menimati alam Dieng.

Tujuan kali ini adalah menikmati 3 destinasi jatah kita. Kenapa jatah? Karena dari yang tertera pada tiket terusan yang kita beli, jatah kita kurang 3, yaitu Candi Arjuna, Kawah Sikidang dan Dieng Plateu Theater. Ya, kita bakalan lahap habis jatah kita.

Mulai dari yang pertama, Candi Arjuna. Seperti kebanyakan candi. Candi Arjuna ya sama. Batu kusam yang ditumpuk-tumpuk. Tapi istimewanya, candi ini bangunannya belum runtuh. Masih utuh. Menarik? So pasti, ini sejarah, jangan ditinggal. Jangan dilupakan.






Lalu, Kawah Sikidang. Seperti kebanyakan kawah. Kawah Sikidang ya sama. Ada lubang ngeluarin asap dengan bau belerangnya. Tapi istimewanya, kawah ini sangat luas. Lubang yang mengeluarkan asap enggak cuman 1, tapi banyak. Tapi ada, satu kawah yang kepulan asapnya enggak kalah sama asap bajaj di Jakarta. Kawahnya luas. Dalam. Berlumpur. Indah deh pokoknya.










Dan yang terakhir

Dieng Palteu Theater. Enggak banyak yang bisa dilakuin disini. Macam bioskop mini lah, kita disuguhin sejarang tentang Dieng yang divisualisasikan lewat sebuah film yang ciamik. Yang jelas yang kalah seru sama Miyabi yang lagi ngangkang. Ajib deh pokoknya!

Semarang, 18 Agustus 2013

8 PM

"Rebahan, Ra! Iya, yang paling enak sehabis perjalan jauh gini itu ya ngerebahin badan Ra, badan gue pegel semua. Istirahat Ra!"

Sembari merapihkan kamar yang berantakan yang belum sempat di bereskan ketika terakhir kali Bintang meninggalkan kamarnya, Bintang merebahkan badan di lantai beralaskan tikar dan menyuruh Kejora untuk tidur di atas spring bed empuk milikknya. Kejora pun menuruti kemauan Bintang.

"Kasur lu baunya enggak enak deh Tang, bau pemutih gitu, lu ngapain aja sih di kosan? Masa lu nyuci di sini? Kan kamar mandinya di luar?!"

Entahlah, tidak ada jawaban dari mulut Bintang. Ternyata, setelah Kejora melengok ke wajahnya, dia sudah tertidur pulas, ngiler pula!

Kejora pun udah enggak asing dengan kebiasaan Bintang yang tidur sambil ngiler, dia udah terbiasa. "Harusnya Bintang nulis di bio twitternya "Hobi: Tidur sambil ngiler" gitu kali ya" Kata Kejora melepas lamunannya. Tidak lama kemudian, Kejora juga tertidur karena terlalu lelah setelah melakukan perjalanan panjang. Ternyata, Kejora tidurnya ngiler juga. Jadi, mereka adalah pasangan iler.

***

Udah lebih dari satu kali gue bepergian ke luar kota berdua bareng Kejora, tentunya dengan cara gue sendiri. Gue anggep perjalanan yang gue lakuin selama ini adalah ada seorang lelaki tampan dan seorang perempuan cantik yang sedang berperan dalam sebuah film. Mulai dari relasi, destinasi, sampek durasi pun, kita yang atur sendiri. Kalo sutradara, dia juga ngatur-ngatur segala keperluannya sendiri, jadi dompetnya tebel. Enggak beda jauh sama gue. Kalo sutradara dompetnya tebel karena duit, kalo dompet gue tebel karena kondom, beda tipis!

Jadi, backpacking itu sebenernya juga bisa dikategorikan sebagai seni. Seni mengolah keuangan, seni bertahan hidup, seni mengatur waktu, sampek air seni yang diminum pun bisa!

Jangan takut mengjelajah Indonesia. Gunakan mata kalian untuk menikmati keindahan Indonesia. Let's travel and document that! Let's promote how beautifully Indonesia! How amazing my country! *Bintang-Kejora*

Akhir kata, salam buat "Papa"!

@bayutaufani
Bayu Taufani Haryanto

Show comments
Hide comments
8 komentar:
Write comment
  1. Si kunir mantab abis...waktu yg tepat biar pas dipuncak gak ketutup kabut kira2 kpn ya?

    Nb : bapaknya dulu gak salah ngasih nama cew lu Dewi Kadita. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bro, keren banget, kalau waktunya pas sih hhhee...
      Waktu aku ke sana bagus tuh, itu tanggal 17-18 agustus lah, udah jarang hujan, jadi langitnya cerah... Sekarang juga mungkin udah bagus bro, Mei-Agustus lah menurut aku waktu yang paling tepat...
      Jangan kesana pas hujannya sering, kayak September-April. Aku pernah kesana pas Februari, dan itu enggak bisa lihat apa-apa, hujan terus banyak kabut...
      Bukan...itu bukan nama aslinya, itu cuman dibikin-bikin aja namanya hhheee

      Hapus
  2. Akhir mei ane mau naik gan...ayok naik lg!! Hehehe
    Penginapan yg deket sana brp'an dulu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah semoga dapet view yang oke lah itu, udah jarang hujan soalnya hhhee... naik lagi ya? Nanti laah, lain waktu mungkin, masih mau jelajah ke tempat-tempat lainnya dulu hhheee
      Penginapan, sekitar 100 ribuan per kamarnya. Enggak tau maksimalnya bisa diisi berapa orang... itu udah termasuk minum hangat sepuasnya hheee...

      Hapus
  3. Dieng ya :) hmmmm... Agustus nanti baru kesana, ikut DFC

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa :) Waaah semoga cuacanya mendukung ya hhhee :)
      DFC? Apaan tuh?

      Hapus
  4. itu pacarmu bro? yang nggajadi nembak di Pantai bandengan itu ya? hha akhirnyaa

    BalasHapus

Back to Top