Intro: Kali ini gue menganut paham yang berbeda. Bukan, bukan berarti sekarang gue jadi sesosok manusia yang atheis. Tapi, paham yang berbeda yang akan gue gunakan kali ini adalah cara berngetik ria gue. Yaaah walaupun ketikan gue ini tetap enggak akan ngerubah jumlah pendapatan daerah berkat wisatanya. Tetep aja sama, enggak ada efeknya. Tapi, apa kalian pada enggak penasaran apa dengan ketikan gue kali ini? Oh iya, pasti harus penasaran dong! Simak!
"Yaudah Ra, besok kita kesini lagi. Selain kita belum dapet apa yang kita mau, kayaknya di sini keren deh, ya kan?"
"Yakin mau ke sini lagi Tang? Iya sih keren, tadi waktu di jalan udah kelihatan kok kalo keren"
"Yakin, aku lagi merindukan suasana kayak gitu"
Hari itu, mereka gagal mendapatkan apa yang mereka mau. Tapi, mereka belum menyerah untuk mendapatkannya. Buktinya, besok mereka masih mau ke sini lagi. Sebenarnya Kejora sudah pasrah dengan keadaan. Keadaan dimana dia selalu gagal untuk menyaksikan momen terbenamnya matahari secara langsung. Entahlah, itu hanya kebetulan saja ataukah emang kenyataan dari ucapan Bintang yang mengatakan bahwa Kejora itu sedang mendapat kutukan sunset. Jadi, dimana pun dan kapan pun Kejora menghampiri sunset, pasti akan selalu gagal. Tapi, kalo Bintang pergi berburu sunset dengan travel partner yang lain, pasti momen indah terbenamnya matahari selalu didapatkannya. Jadi, menurut Bintang, sunset akan selalu malu menampakkan keindahannya di depan muka cantik Kejora.
Bintang pernah mengajak Kejora ke Pantai Bandengan yang terkenal keindahan pemandangannya, sunset utamanya. Ya, mereka cuman berdua. Tapi gagal, karena cuaca yang kurang bersahabat. Lalu, hari ini, lagi-lagi Kejora masih belum bisa menyaksikan keindahan matahari terbenam tepat di depan matanya. Setidaknya, sudah dua kali Bintang mengajak Kejora untuk menyaksikan sunset. Tapi, keduanya gagal. Malang emang nasib Kejora.
Kejora Sekar Langit
Nama gue Kejora Sekar Langit. Kalian bisa panggil gue Kejora, kakak lucu, kaka imut atau pun kakak cantik. Tapi inget ya, jangan pernah panggil gue om! Sebenernya, gue enggak begitu tau arti nama gue. Tapi, gue mau coba sedikit menganalisanya. Mari kita saksikan bersama-sama. Kejora itu artinya adalah Bintang Timur. Lalu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata Sekar adalah Bunga. Kemudian, langit, ya langit. Jadi, arti nama gue adalah Bintang dari Timur yang dihiasi Bunga yang terdampar di Langit.
Unyu emang, tapi, dibalik ke-"unyuan" nama gue, sebenernya gue lebih unyu dari pada apa yang kalian duga selama ini. Badan gue berotot, keker dan maco tentunya, tapi ngondek. Yah, itulah gue. Enggak selamanya wanita harus kalem, pendiam dan tunduk sama lelaki. Walaupun secara kasat mata, tetep aja, arti yang digambarkan oleh nama gue adalah wanita kalem dan lucu. Tapi, tetep aja gue cantik. Oke, omongan gue mulai ngelantur.
Selama hidup gue, sampek umur 18 tahun, gue belum pernah ngelihat yang namanya sunset pake mata gue sendiri. Gue selalu berusaha untuk dapat menyaksikannya. Tapi, selalu aja gagal. Kayaknya gue kena kutukan.
2 PM
Treeet...treeet...treeeet...suara handphone berbunyi. Bukan deng, cuman geter doang. Handphone Bintang mah jarang banget ada nada deringnya, cuman getar doang palingan. Terlepas dari perdebatan suara yang muncul memecah keheningan itu adalah nada dering atau hanya getaran, Bintang yang kaget dengan sedikit bumbu latah pun meng-ayam-ayam kan hanphone-nya. Eh bukan meng-ayam-ayam kan deng, tapi mengangkatnya. Bintang rada blo'on emang, ada telfon malah handphone-nya diangkat-angkat, bukannya dipencet tombol terima kek. Oke, suasana mulai hening dan garing, tetiba langsung terdengar suara
"Tang, lu dimana?"
"Gue lagi di jalan, kenapa emang?"
"Lu disuruh ke kampus buat nemuin asisten, sekarang!"
"Tututut...tututut..."
Bintang pura-pura menggucapkan nada dimana telfon telah terputus. Supaya Rachel enggak menghubunginya lagi. Blo'on emang ini si Bintang. Rachel adalah teman sekampus Bintang. Dia adalah ketua kelompoknya Bintang. Jadi, Bintang adalah bawahannya Rachel. Maksudnya, Rachel di atas dan Bintang di bawah. Entahlah gaya apa yang mereka gunakan.
***
Gue paham kenapa tetiba Rachel nelfon gue. Saat dia nyebut-nyebut nama asisten, yang ada dibayangan gue adalah gue masih punya hutang tugas kepada asisten dan pasti gue harus menyelesaikannya hari itu juga. Berhubung gue males dan gue udah ada janji sama Kejora buat lihat sunset yang kemarin sempet gagal, jadi, dengan elegannya gue matiin telfon Rachel dengan cara yang elegan pula, yaitu dengan mengucapkan tut...tuut...tuuuut...selayaknya telfon telah terputus sambungannya.
Berhubung gue lelaki sejati, gue lebih mengutamakan menepati janji gue dulu. Walaupun gue udah janji sama kedua-duanya. Emang sih, janji ke asisten lebih dulu gue sanggupi. Tapi, janji ke Kejora kan gue sanggupin juga. Oke, gue pilih Kejora. Jadi, janji yang terbarukan harus ditepati dulu. Salah kaprah emang, tapi, yaudahlah seenggaknya gue masih suka nyabunin titit kok.
Bintang Songgo Bumi
Nama gue Bintang. Anak pungut dari 7 bersaudara. Jadi, gue adalah anak kedelapan. Kata orang sih gue blo'on. Dilihat dari nama gue, hal yang pertama orang-orang lakukan setelah mendengar nama gue untuk pertama kalinya adalah ngata-ngatain gue. Secara, mana ada sih penyangga bumi? Bumi itu bendiri sendiri tanpa adanya penyangga? Yaah begini inilah derita anak pungut. Nama pun dicarikan nama yang asal pungut doang. Hiks...hiks...
*Songgo=Penyangga
Oke, ini bukan saatnya untuk mencela diri sendiri. Tahun ini umur gue 19 tahun. Walaupun gue blo'on, banyak yang bilang bahwa kegantengan gue mirip pemilik akun @bayutaufani. Mirip sih emang, tapi tetep masih gantengan dia sih :( Aduuuh... kayaknya gue hidup cuman untuk di cela deh ya. Orang diri gue sendiri pun sangat antusias saat gue mencela-cela diri gue sendiri.
Terlepas dari semua ke blo'onan gue, sekarang gue udah enggak jomblo lagi, gue udah meminang kekasih yang cantik dan masih muda tentunya, bukan nenek-nenek peyot lagi. Sekarang, gue udah tobat dan sadar total.
Pantai Cahaya, Kendal, 16 Juli 2013 3.30 PM
"Sore mas, untuk dua orang ya?"
"Iya pak, dua orang"
"Jadi totalnya Rp22000 untuk biaya tiket masuk sama parkir kendaraannya"
Satu jam perjalanan dari Semarang tanpa kena macet telah mereka jalani. Bintang dan Kejora benar-benar menyiapkan segala sesuatunya dengan matang. Mereka enggak mau ketinggalan matahari terbenam seperti kemarin. Kali ini, mereka kesiangan. Iya mereka terlalu awal untuk sampai di Pantai Cahaya.
Pantai Cahaya adalah salah satu pantai yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa. Tepatnya di daerah Kendal. Gue enggak tau, Kendal itu sebuah kota atau kah kabupaten, jadi, gue sebut daerah Kendal. Daerah ini terletak sekitar 50 km dari Kota Semarang. Kalau dikalkulasikan waktu, normalnya membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Dengan syarat, enggak macet dan enggak jalan kaki, apa lagi ngesot, mberangkang dan kawan-kawannya.
Pantai Cahaya merupakan pantai yang belum begitu terkenal. Padahal potensinya sangat luar biasa Indahnya. Tapi sekarang, kayaknya udah mulai terkenal. Selain pantai dan laut yang Indah, di sana juga ada kebun binatang mini, pentas lumba-lumba serta permainan untuk anak kecil. Ya, mereka jarang ter-ekspose. Entahlah, dinas pariwisata tugasnya apa ya?
Tapi disini, gue enggak mau bahas yang berat-berat, yang ringan aja. Maksudnya, gue enggak mau bahas tentang kebun binatang mini kek, pentas lumba-lumba kek atau pun mainan anak kecil. Gue enggak nyobain soalnya. Gue murni berburu sunset.
Pantai cahaya itu kotor, soalnya pantainya berpasir hitam, jadi kelihatan kotor. Coba kalo putih, pasti bersih. Airnya juga enggak biru-biru amat. Standart, kalo kata bang Raditya Dika "Kudet" -Kurang Update- Itu yang membuat gue meragukan keindahan Pantai ini. Jadi, jangan harap ada bule-bule yang setengah telanjang sedang berjemur di sini.
4 PM
"Keren ya pantainya Tang? Hhe"
"Eehmmm...iya...iya...iya, keren banget keren :)"
Nampaknya kedua insan ini sedang sama-sama menghibur diri sendiri. Bukan, bukan karena mereka tetiba saling pandang-memandang lalu berpengangan tangan. Bukan, bukan karena itu. Tapi, mereka saling menghibur tatkala memandang keadaan sekeliling pantai. Iya, mereka saling menghibur karena mendapatkan kenyataan bahwa gazebo yang disediakan di pinggir pantai ada tulisannya "Disewakan. Rp75.000. Hubungi bla...bla...bla..." Dan itu semuanya. Enggak cuman satu gazebo, tapi semuanya. Inget ya, semuanya. Padahal, menurut mereka, dari gazebo itulah tempat yang tepat untuk memandangi matahari yang mulai membenamkan diri di ufuk barat. Barat laut tepatnya. Soalnya, di bagian tepi Pantai Cahaya, hanya gazebo itulah yang bisa di buat teduh sambil menikmati sunset. Bisa sih enggak di gazebo tapi tetep bisa ngelihat sunset. Tapi, bakalan kehalang sama tembok-tembok yang emang sengaja di bangun untuk menutupi tepian pantai ini. Manusia emang mulai serakah. Ini kan alam, kenapa harus dibatasi? Kenapa harus dipagari?
Oke, manusia kece enggak boleh ngeluh. Traveling itu kan enggak cuman kegiatan untuk mendatangi tempat yang kece kemudian foto-foto, pulang, terus pamer. Kalo menurut gue sih dengan traveling gue jadi sadar, bahwa hidup itu enggak selamanya mengumpulkan harta. Tapi, bagaimana untuk berbahagia dengan apa yang ada!
Berhubung kita manusia kece, jadi, kita mencoba untuk berbahagia dengan apa yang ada. Satu-satunya spot yang ada ya kita harus berada di tembok yang paling ujung supaya saat menikmati sunset enggak terhalang oleh tembok. Oke, berjalanlah kita ke spot tersebut.
Usut punya usut, setelah kita sampai di spot yang ingin kita tuju, di balik tembok bangke penghalang ini ada seonggok pantai yang pasirnya banyak dan tanpa adanya penghalang tembok. Terlintaslah dipikiran kita kalo tempat berpasir itu lebih kece dari pada spot dimana kita berdiri saat ini. Yang dimana hanya berisikan ban-ban bekas. Udah kayak tempat sampah aja ini pantai.
Sejenak berpikir, bagaimana cara menuju ke sana. Karena kita terhalangi oleh tembok jahanam ini. Enggak mungkin kan kita terjun ke laut terus berenang menuju daratan di seberang? Enggak mungkin. Akhirnya sejenak gue berpikir dan merenung...
Eng...ing...eng... kita sudah sampai di daratan berpasir hitam ini. Keren kan? Baru aja mikir tetiba udah sampai? Emang keren kok gue.
No,no, gue bercanda. Sebenernya tadi itu kita jalan menuju pintu keluar. Lalu menjelajahi sebuah gang sempit untuk menuju jembatan yang bisa menghubungkan kita ke daratan berpasir ini. Perjuangan kita belum berakhir, jembatan yang kelihatannya mulus ini ternyata tak berujung. Iya, jadi, ujungnya itu di tutup pake bambu. Pikir gue sih itu bukan urusan gue. Mau ada bambu yang nutupin kek, ada cewek telanjang yang terlentang kek, itu bukan urusan gue. Urusan gue cuman gimana caranya gue bisa menginjakkan kaki gue di daratan berpasir ini. Yaaah walaupun dalam asumsi gue ini ilegal, tapi nampaknya, setelah ini kata-kata udah mulai enggak cocok untuk digaungka lagi. So, mari kita nikmati keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini.
Selain pemandangan kapal yang kece ini, kelihatan lah itu tembok jahanam sama bambu penghalang jalan
Pada akhirnya, Kejora terbebas dari kutukannya. Dia udah sembuh. Dia udah bebas. Jadi, apa kalian masih mau nunggu cerita Bintang-Kejora yang lainnya tanpa kalian ikut merasakannya?
Kalo emang dengan membaca dan melihat foto saja kalian udah bisa menikmati keindahan alam, maka, berjalanlah, niscaya kamu akan menikmati keindahan alam yang menjulur merasuki nadi mu lalu akan mengoyak suatu sistem merumitkan dalam tubuh ini untuk menuntun mu menikmati alam ini. Dan yakinlah, bahwa seindah-indahnya kata-kata, tidak akan mampu menandingi keindahannya saat kamu merasakannya secara langsung. Seindah-indahnya gambar, tidak akan mampu memikul beban yang menamai dirinya, keindahan alam. *Bintang-Kejora*
Akhir kata, salam buat "Papa"!
so sweet hahaha ... temenin kejora terus sampe menukan hal-hal yang baru dan menumakan indahnya pertiwi ini iyaah ...
BalasHapusIyaaa, selama Tuhan masih menizinkan hhhaaa
HapusMana nih kacamata? Kok sepi? Cemen ah...
Oh jadi ini... kejoranya seorang @papabackpacker
BalasHapusHahaha tidaaaak. Itu masa lalu. Orangnya sudah mau nikah sama orang lain yang nggak lebih ganteng dari aku. Gimana dong? Aku harus seneng apa harus sedih? :D
Hapus